EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah mendorong pembayaran transportasi terpadu dilakukan melalui Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Hal ini dilakukan sebagai salah satu solusi untuk meningkatkan efisiensi dalam bertansaksi.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Transportasi Kementerian Perhubungan Sugihardjo mengatakan bahwa transaksi elektronik yang terpadu bukan hanya menciptakan efisiensi dari segi waktu dan energi, tetapi juga mencegah pelanggaran, seperti pungutan liar.
"Apalagi selama ini angkutan jalan itu ada saja punglinya baik dari yang berseragam maupun yang tidak, coba lihat Transjakarta apakah ada pungli, tidak ada karena sopirnya tidak mengantongi uang setoran. Jadi tujuannya ke arah situ untuk menghilangkan pungli," katanya di Jakarta, Senin (3/12).
Selain itu, lanjut dia, transaksi elektronik memudahkan data yang akurat terkait produktivitas angkutan jalan. "Kalau teman-teman membaca data transportasi selama ini pasti sulit mendapatkan data yang akurat, biasanya hanya survei saja," katanya.
Namun, Sugihardjo mengatakan, saat ini sistem pembayaran transportasi massal belum terintegrasi. Masing-masing transportasi massal menggunakan sistem pembayaran atau uang elektronik sendiri.
"Kalau bicara keterpaduan antarmoda, semestinya ada keterpaduan fisik, integrasi operasional dan keterpaduan pembayaran. Ini yang kita dorong agar bentuknya keterpaduan," katanya.
Ia mencontohkan di Cina sudah ada Union Pay yang merupakan kartu pembayaran bukan hanya untuk transportasi, tetapi pembayaran lainnya. Selain itu, Nets di Singapura, JCB di Jepang dan Ideal di Belanda.
Sugihardjo mengatakan Bank Indonesia dan Kementerian Perhubungan telah melakukan penandatanganan Kesepakatan Bersama (KB) pada September 2017 guna menyepakati pengembangan integrasi sistem pembayaran elektronik bidang transportasi.
Melalui integrasi tersebut, masyarakat akan dapat menggunakan uang elektronik dari berbagai penerbit pada berbagai moda transportasi. Integrasi tersebut akan meningkatkan efisiensi layanan publik melalui penerapan pembayaran secara nontunai.
Untuk mencapai integrasi tersebut, ada tiga hal yang perlu dilaksanakan, pertama penggunaan uang elektronik sebagai instrumen pembayaran transportasi publik menggantikan tiket. Kedua, standarisasi instrumen uang elektronik yang selaras dengan kebijakan GPN.
Ketiga, keberlangsungan model bisnis serta menghargai investasi yang telah ada dengan mengadopsi skema harga (pricing) sesuai best practices. "Dengan GPN, para pengguna kartu debit terkhusus pengguna jasa transportasi diharapkan tidak perlu memiliki beragam kartu pembayaran elektronik yang diterbitkan oleh Bank yang ada atau penyedia jasa transportasi (OK Trip, kartu commuter line, dll), cukup menggunakan satu kartu berlogo GPN bisa untuk bertransaksi di mana saja," ujar Sugihardjo.
Salah satu tantangan untuk mewujudkan integrasi pembayaran transportasi Jabodetabek adalah perbedaan kepemilikan moda transportasi, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Untuk itu, strategi integrasi sistem pembayaran elektronik moda transportasi disinergikan dengan membentuk dua entitas berbeda.
Pertama, unit usaha yang berada dibawah BUMN untuk moda transportasi yang dikelola oleh BUMN. Kedua, konsorsium yang berada dibawah Pemprov DKI dan berbentuk BUMD untuk moda transportasi yang dikelola oleh BUMD.
Kedua entitas tersebut harus bersinergi dengan menyediakan infrastruktur pemrosesan uang elektronik yang saling terkoneksi dan dapat beroperasi.
Demi mendorong pelaksanaan integrasi, dilakukan penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Bank Indonesia dan Badan BPTJ dan kesepakatan bersama antara BPTJ dengan Pemprov DKI Jakarta dengan seluruh operator pengelola moda transportasti yang beroperasi di wilayah Jabodetabek, yaitu Perum Damri, Perum Pengangkutan Penumpang Djakarta, PT KAI Commuter Jabodetabek, PT Jakarta Propertindo, PT Transportasi Jakarta, PT Mass Rapid Transit Jakarta, dan PT Railink.
Namun demikian, GPN dinilai masih belum efektif mengingat masyarakat lebih memilih menggunakan kartu debit yang berlogo Internasional dalam melakukan transaksi luar maupun dalam negeri. Selain itu, kebiasaan masyarakat Indonesia dalam bertransaksi dilakukan secara tunai juga merupakan salah satu tantangan yang harus diselesaikan.
"Delapan puluh lima persen transaksi di Tanah Air masih dilakukan secara tunai, padahal 36 persen masyarakat saat ini sudah memiliki account number di bank, namun transaksi non tunai hanya 10 persen," kata Sugihardjo.
Akan tetapi jika melihat ke beberapa negara maju, seperti Cina, Singapura, dan Belanda, penggunaan GPN ini telah diimplementasikan dalam berlomba melakukan inovasi. Ke depan, GPN diharapkan dapat menjadi solusi sistem pembayaran elektronik yang terintegrasi dengan berbagai moda transportasi.