Selasa 11 Dec 2018 14:51 WIB

Kebijakan Kantong Plastik Sudah Berdampak ke Industri

Pelarangan kantong plastik tidak efektif dalam mencapai tujuannya.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Indira Rezkisari
Warga menenteng barang mengunakan kantong plastik di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Senin (3\10).
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Warga menenteng barang mengunakan kantong plastik di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Senin (3\10).

EKBIS.CO, JAKARTA -- Pelarangan kantong plastik di sejumlah daerah dan rencana pemerintah untuk menerapkan cukai plastik sudah berdampak terhadap industri. Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Plastik dan Aromatik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono, mengatakan industri kantong kresek menjadi pihak yang paling terdampak.

Menurut Fajar, para pelaku industri kantong kresek yang tergabung dalam Inaplas tengah wait and see dan mengalami dilematis untuk menambah stok. Gudang mereka hanya berisikan sisa produksi. "Biasanya, jelang akhir tahun, mereka menambah stok karena permintaan biasa meningkat. Tapi, sekarang tidak, sehingga isi barang di gudang hanya sedikit," ujarnya dalam temu media di Jakarta, Selasa (11/12).

Menurut Fajar, para pelaku industri merasa takut dengan adanya penurunan pesanan kantong plastik kresek pascapelarangan di ritel modern di sejumlah daerah. Di antaranya di Banjarmasin, Balikpapan, Kota Bogor dan Bandung. Pada awal 2019, Bali direncanakan menerapkan peraturan serupa.

Tidak hanya stok, kebijakan pemerintah juga berdampak terhadap investasi. Menurut Fajar, industri tidak memiliki rencana untuk menambah kapasitas investasi dalam jangka waktu satu sampai dua tahun mendatang. "Sebab, mereka ragu nilai investasi itu akan kembali dan cemas terhadap potensi pengurangan pendapatan," katanya.

Wakil Ketua Umum Inaplas Suhat Miyarso menjelaskan, apabila kebijakan pelarangan kantong plastik terus diberlakukan, tidak menutup kemungkinan industri harus tutup. Dampaknya tidak hanya ke pendapatan perusahaan itu sendiri, juga ke tenaga kerja. Sebab, industri ini menjadi lapangan kerja bagi ribuan orang.

Suhat menjelaskan, kini plastik menjadi unsur yang sangat dimusuhi banyak kalangan karena dianggap tidak ramah lingkungan dan menyebabkan tumpukan sampah. Tapi, menurutnya, permasalahan utama dari sampah di Indonesia bukanlah material, melainkan manajemen yang belum dilaksanakan dengan baik. "Maka itu, kami menolak pelarangan kantong plastik," ujarnya.

Suhat mengatakan, Inaplas meminta kepada pemerintah pusat untuk meninjau kembali kebijakan tersebut dan diganti dengan usaha peningkatan pengelolaan sampah. Penolakan ini bukan asal bunyi, melainkan berdasar fakta dan data valid, sehingga disimpulkan bahwa pelarangan kantong plastik tidak efektif dalam mencapai tujuannya.

Dalam waktu dekat, Suhat menuturkan, pihaknya akan merilis data hasil kajian mengenai potensi kerugian apabila kebijakan pelarangan kantong plastik dan cukai tetap diberlakukan. Kajian dilakukan bersama sejumlah akademisi, termasuk dari Universitas Indonesia. "Poin yang ingin disampaikan di situ adalah kerugian berupa penurunan kontribusi terhadap PDB dan lapangan kerja," ujarnya.

Suhat menambahkan, pelaku industri plastik kebanyakan adalah industri kecil dan menengah. Terdapat di dalamnya, pemungut sampah dan pengepul, sehingga kantong plastik ini dapat dianggap memberikan andil dalam pengembangan industri dalam negeri.

Suhat mengatakan, upaya yang sebaiknya dilakukan pemerintah adalah memberikan edukasi untuk mendorong paradigma bahwa sampah tidak hanya diangkut dan dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Lebih dari itu, sampah bisa dipilah, diolah dan dijual sehingga memberikan nilai ekonomi tambah.

Salah satu upaya yang sudah dilakukan Inaplas adalah memberikan tempat sampah empat jenis di rumah tangga di Cilegon. Di antaranya, ember untuk mengumpulkan barang atau sampah yang dapat membusuk guna pembuatan pupuk. "Sarana ini sebagai pendorong agar masyarakat mau melakukan pemilahan sampah dari rumah," kata Suhat.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement