EKBIS.CO, JAKARTA -- PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) menjadi induk holding pertambangan pada 27 November 2017. Holding tambang teridi dari PT Inalum Asam Tbk dan PT Timah Tbk, serta nantinya PT Freeport Indonesia (PTFI).
Proses konsolidasi sudah dimulai sejak itu dan tahun ini hasilnya mulai efektif terasa dengan kedudukan Inalum sebagai holding. Inalum selain memiliki bisnis tambang aluminium, juga didaulat menjadi pengonsolidasi kinerja dari seluruh perusahaan tambang negara.
Berdasarkan laporan keuangan semester pertama yang telah diaudit, Inalum membukukan laba bersih konsolidasi mencapai Rp 5,4 triliun, tumbuh 170 persen dari tahun sebelumnya sebesar Rp 2 triliun. Pendapatan perseroan naik 58 persen dari Rp 18,8 trillun di semester pertama 2017 menjadi Rp 29,8 triliun di semester pertama 2018.
Sementara itu, EBITDA pada mencapai Rp 9,04 triliun, sekitar 51 persen dari target proforma. EBITDA margin holding tambang pun meningkat ke level 30,4 persen dari posisi akhir 2017 sebesar 26,6 persen.
Selain dari sisi keuangan, Inalum diberikan mandat meningkatkan kepemilikan Indonesia di PTFI dari 9.32 persen menjadi 51 persen. Proses pembelian tersebut diharapkan selesai akhir tahun ini.
Inalum secara konsolidasi juga menjadi BUMN dengan ekspor terbesar tahun ini, yang diperkirakan mencapai 2,52 miliar dolar AS atau setara Rp 37,25 triliun. Angka itu naik drastis jika dibandingkan dengan total ekspor di 2017 sebesar 1,89 miliar dolar AS.
Baru-baru ini juga, Inalum bekerjasama dengan lembaga riset terkemuka dari Amerika Serikat MIT Energy Initiatives sebagai landasan mendirikan pusat riset dan inovasi industri pertambangan. Kerja sama ini membantu indonesia mengembangkan mobil listrik dan sumber energi yang murah dan ramah lingkungan.
Inalum menjalankan tiga mandat yang telah dipercayakan oleh pemerintah yaitu menguasai cadangan strategis pertambangan nasional, meningkatkan nilai tambah industri pertambangan melalui hilirisasi, dan menjadi perusahaan kelas dunia.