EKBIS.CO, KHARTOUM -- Sudan sedang mencari dana dari negara-negara yang sayangnya tidak disebutkan namanya untuk meredakan krisis ekonominya. Krisis terjadi ketika protes berlanjut terhadap pemerintahan tiga dasawarsa Presiden Omar al-Bashir.
Gubernur Bank Sentral Sudan Mohamed Khair al-Zubair menyebutkan adanya kemungkinan pendanaan asing selama konferensi pers, Selasa (1/1). Dilansir dari Bloomberg, ia menguraikan rencana tiga bulan untuk meningkatkan pendapatan, membawa mata uang kertas dan mencetak lebih banyak uang kertas.
Negara Afrika yang mendevaluasi pound setidaknya tiga kali pada 2018 menderita kekurangan uang tunai yang parah. Inflasi bahkan mencapai hampir 70 persen.
Ketidakpuasan yang meluas dengan biaya hidup yang melambung di Sudan telah memicu gelombang protes. Ini menjadi salah satu tantangan terbesar bagi al-Bashir sejak ia berkuasa dalam kudeta 1989.
Pemerintah mengatakan, 19 orang termasuk dua tentara tewas dalam kerusuhan yang dimulai di kota-kota besar 19 Desember lalu. Amnesty International mengatakan pada 24 Desember adanya laporan terpercaya bahwa 37 orang ditembak mati oleh pasukan keamanan dalam lima hari pertama.
Al-Zubeir tidak mengidentifikasi siapa yang dapat memanfaatkan dana Sudan. Negara ini telah mengalami gejolak ekonomi sejak Sudan Selatan memisahkan diri pada 2011 dan membawa sekitar tiga perempat cadangan minyak negara kesatuan itu sebelumnya.
Pada akhir 2017, Amerika Serikat (AS) telah mencabut sebagian besar sanksi lamanya selama dua dekade terhadap Sudan.
Kementerian Keuangan pernah mengatakan, negara-negara Teluk Arab yang tak diidentifikasi memperpanjang sekitar 2 miliar dolar AS dalam bentuk pinjaman lunak kepada Sudan pada 2015. Sementara media pemerintah dalam dua tahun terakhir melaporkan Bank Sentral menerima setoran dari Uni Emirat Arab.