EKBIS.CO, JAKARTA -- Pengawasan impor besi dan baja kembali berubah dari post border inspection menjadi border inspection melalui pusat logistik berikat (PLB). Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 110 Tahun 2018 Tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan dan Produk Turunannya yang merupakan revisi dari Permendag Nomor 22 Tahun 2018.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, ketersediaan baja impor yang sembarangan masuk ke Indonesia menjadi penyebab utama industri baja mengalami idle. "Melalui permendag, kami coba tertibkan sehingga utilisasi dapat ditingkatkan," ujarnya ketika ditemui usai acara Outlook Perekonomian 2019 di Jakarta, Selasa (8/1).
Airlangga mengatakan, pengaturan pengawasan ini utamanya disebabkan kasus pengalihan Harmonized System (HS) dari produk baja karbon menjadi alloy steel. Kebanyakan, produk impor adalah baja karbon untuk konstruksi yang seharusnya dikenakan bea masuk 10 sampai 15 persen.
Tapi, karena pihak pengimpor menambah lapisan material boron dan chrome, baja karbon tersebut beralih menjadi alloy steel. Sedangkan, alloy steel hanya mendapatkan bea masuk rendah nol sampai lima persen. Kondisi ini menyebabkan produk impor dijual dengan harga sama atau bahkan lebih rendah dibandingkan buatan dalam negeri.
Melalui revisi Permendag, Airlangga mengatakan, pemerintah dan pihak terkait dapat melakukan pencegahan sejak lebih dini yakni di border. Selain itu, importir memiliki pertimbangan teknis dari Kemenperin. "Kemarin itu kan di post border dan sekarang kembali lagi ke border atau PLB," katanya.
Baca juga, Direvisi, Aturan Baru Impor Baja Berlaku Mulai 20 Januari
Pelaku industri baja nasional mengapresiasi revisi Permendag yang rencana diterapkan pada 20 Januari 2019 mendatang. Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim mengatakan, revisi dibutuhkan karena impor baja harus segera dibatasi. Khususnya, impor yang mengganggu industri dalam negeri dengan cara pengalihan HS.
Dalam Permendag 110, Silmy mengatakan, baja boron tidak lagi dapat masuk ke Indonesia karena sudah dilakukan berbagai upaya pengawasan. "Di border, fisik baja impor ini akan diperiksa betul. Jadi, tidak lagi semaunya pengimpor mengirimkan barang ke Indonesia," ucapnya.
Silmy memprediksi, dengan adanya revisi Permendag, tingkat utilitas baja dalam negeri dapat semakin maksimal. Dari yang selama ini hanya 50 sampai 60 persen, bisa menjadi 80 persen dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri, yakni sekitar 14,5 juta ton per tahun.
Optimisme itu semakin kuat mengingat rencana Krakatau Steel untuk mengoperasikan fasilitas hot strip mill II pada Mei 2019. Melalui fasilitas ini, tingkat produksi dalam negeri dapat bertambah 1,5 juta ton.
Silmy mengakui, impor baja tidak dapat dihilangkan sampai 100 persen. Tapi, impor harus dilakukan secara fair, termasuk dengan tidak mengalihkan HS yang berpotensi mematikan industri baja dalam negeri.
Silmy menambahkan, impor baja tidak hanya merugikan industri, melainkan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Sebab, impor baja memiliki peranan besar terhadap tekanan neraca perdagangan. "Kalau impor baja sudah bisa dikurangi, diharapkan neraca perdagangan kita dapat membaik dan surplus," katanya.
Permendag Nomor 110 Tahun 2018 diketahui sudah ditandatangani oleh Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita sejak pekan pertama Desember. Pada 20 Desember, revisi tersebut diundangkan dan kemudian akan diimplementasikan pada 20 Januari 2019. Hal ini telah dikonfirmasi oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan di kantornya pada Senin (7/1).
Menurut catatan Kemendag, sebanyak 52 persen kebutuhan konsumsi baja nasional yang mencapai 13,6 juta ton pada 2017 dipenuhi produk impor. Sementara itu, pada 2018, konsumsi untuk baja impor mengalami peningkatan menjadi 55 persen dalam memenuhi kebutuhan 14,2 juta ton.
Tapi, Oke tidak menyampaikan target pengurangan impor. "Ya kita lihat itu kan tergantung, kita nggak ada target untuk itu. Kita cuma coba mengendalikan impor," katanya.