EKBIS.CO, JAKARTA -- Indonesia dinilai akan menjadi target utama bagi perusahaan financial technology (fintech) asing dari berbagai negara. Pasalnya, data menunjukkan investasi e-commerce terbesar terjadi di Indonesia.
Pengamat Informasi Teknologi (IT) dan Siber dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Kun Arief Cahyantoro menyebutkan, pelaku-pelaku investasi e-commerce besar seperti Alibaba dan Tencent dari Cina, bahkan Softbank dari Jepang telah masuk ke Indonesia. "Pebisnis fintech memiliki pemahaman baru, bisnis mereka akan sangat berkembang jika turut serta dalam bisnis transaksi e-commerce yang masif," ujarnya kepada Republika, Ahad (13/1).
Meski begitu, menurutnya masuknya fintech asing tidak akan mengganggu fintech lokal selama mekanisme yang dibuat adil dan sama. Terutama terkait perijinan serta perpajakan.
"Jadi solusinya, fintech sebagai pendukung bisnis e-commerce harus memiliki aturan yang sama dengn pelaku bisnis e-commerce," kata Kun.
Lebih lanjut Kun mengatakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) saat ini baru mendefinisikan empat jenis e-commerce yaitu online marketplace, classified ads, daily deals dan online retail. "Maka perlu ditambahkan lagi, yaitu fintech," tegasnya.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan, pengawasan serta pengaturan fintech pembayaran merupakan kewenangan Bank Indonesia (BI), termasuk masuknya Alipay dan Wechatpay pun diawasi oleh BI.
Deputi Komisioner OJK Institute Sukarela Batunanggar tidak memungkiri kalau pasar di Indonesia sangat besar dan bertumbuh pesat ke depan. Dengan begitu menarik fintech asing masuk.
"Maka perlu diarahkan. Tujuannya agar sinergi dengan bank dan fintech lokal lebih sehat dan optimal," katanya kepada Republika.
OJK, kata dia, tidak memiliki kebijakan khusus bila ada fintech asing yang masuk ranah peer to peer (P2P) lending. "Dalam Peraturan OJK 77 ditetapkan, PMA maksimal 85 persen. Indonesia memerlukan PMA meliputi modal, teknologi, dan keahlian," tutur Sukarela.