EKBIS.CO, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyebut penerapan pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (Online Single Submission/OSS) menghambat realisasi investasi sepanjang 2018. Seperti diketahui, investasi 2018 tercatat tak memenuhi target.
Peneliti Indef Ariyo DP Irhamna menyebut belum sempurnanya sistem OSS membuat investor kebingungan mengurus perizinan. "PMA (Penanaman Modal Asing) dari 2017 meningkat, tapi pas masuk 2018 kuartal I turun sedikit, drastis di kuartal II dan makin rendah di Kuartal III. Kenapa bisa drastis? Kalau saya lihat ada faktor internal juga karena OSS yang dipindahkan ke Kemenko Ekonomi," ungkapnya dalam diskusi bertajuk 'Tantangan Mendorong Pertumbuhan dan Menarik Investasi di Tahun Politik' di Jakarta, Kamis (7/2).
Baca juga, Tingkatkan Investasi, BKPM Benahi OSS
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi sepanjang 2018 hanya mencapai Rp 721,3 triliun, atau 94,3 persen dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebesar Rp765 triliun. Realisasi investasi sebesar Rp 721,3 triliun tercatat meningkat sebesar 4,1 persen dibandingkan tahun 2017 dengan rincian realisasi investasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) mencapai Rp 328,6 triliun dan realisasi investasi penanaman modal asing (PMA) sebesar Rp 392,7 triliun.
Meski PMDN tahun 2018 menunjukkan peningkatan sebesar 25,3 persen dibandingkan tahun 2017, total realisasi investasi PMA tahun 2018 turun 8,8 persen dibanding tahun 2017.
Ariyo memahami tujuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ingin menggenjot investasi di akhir masa kepemimpinannya dengan berupaya menciptakan reformasi sistem perizinan tersebut. "Tapi karena dialihkan ke Kemenko Ekonomi, ini jadi (penyebab awal investasi) turun. Karena perizinan kan seharusnya memang di BKPM tapi malah harus ke Kemenko Ekonomi yang bukan tupoksinya mengurus perizinan," katanya.
Penerapan awal sistem OSS di Kemenko Ekonomi, lanjut Ariyo, juga diwarnai dengan kebingungan yang dialami investor. Hal itu mulai dari antrean yang panjang hingga sistem OSS yang masih menggunakan Bahasa Indonesia.
"Mungkin investor bingung juga. Subsektor juga belum ada. Sebetulnya OSS ini baik, tapi implementasinya harus lebih cepat," katanya.