EKBIS.CO, JAKARTA -- Sampai akhir Januari 2019, realisasi pembiayaan melalui utang telah mencapai Rp 122,4 triliun. Jumlah tersebut merupakan 34,09 persen dari yang ditargetkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019, yakni Rp 359 triliun.
Dari data yang disampaikan Kementerian Keuangan, realisasi Januari 2019 ini naik signifikan dibanding dengan periode sama pada tahun lalu, yakni Rp 26,7 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, tingginya realisasi pada Januari disebabkan strategi front loading, sehingga penerbitan utang akan lebih banyak dilakukan di paruh pertama tahun ini.
"Oleh karena itu, realisasinya sangat naik," ujarnya dalam konferensi pers APBN KiTa di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Rabu (20/2).
Dari jumlah pembiayaan melalui utang secara neto sebesar Rp 359,2 triliun yang diamanatkan untuk menutupi defisit APBN 2019, sekitar Rp 388,9 triliun merupakan porsi Surat Berharga Negara (SBN). Sementara itu, porsi pinjaman sebesar Rp 29,71 triliun.
Setidaknya ada tiga pertimbangan pemerintah melakukan strategi front loading dalam penerbitan SBN. Di antaranya sebagai respon atau upaya mitigasi risiko atas kondisi pasar global yang diliputi ketidakpastian dan volatilitas. "Misalnya, kenaikan Fed Fund Rate, perang dagang dan volatilitas harga minyak dunia," tutur Sri.
Pertimbangan lainnya adalah pemerintah ingin memanfaatkan tingginya likuiditas pasar keuangan pada kuartal pertama. Terakhir, mengamankan pembiayaan APBN.
Sri menjelaskan, penerbitan yang tinggi pada kuartal pertama diperuntukkan sebagai mitigasi pembayaran utang jatuh tempo kuartal kedua yang relatif tinggi. Selain itu, sebagai mitigasi kemungkinan berkurangnya likuiditas pada kuartal kedua sebagai dampak dari tingginya belanja masyarakat karena lebaran dan pemilu.
Dengan strategi pembiayaan utang yang telah digariskan untuk tahun 2019 ini, Sri berharap, pengelolaan utang dapat semakin pruden. "Selain itu, lebih tahan terhadap segala bentuk volatilitas di luar," katanya.
Sampai akhir Januari, Kemenkeu mencatat, persentase utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) di level 30,10 persen. Angka ini masih jauh lebih rendah dari batas yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yakni 60 persen.
Sri menyebutkan, salah satu sumber pembiayaan yang sedang dikembangkan oleh pemerintah adalah Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Khususnya yang ditujukan langsung untuk membiayai proyek pemerintah yang dikenal dengan SBSN proyek.
Pada tahun ini, alokasi pembiayaan SBSN proyek adalah Rp 28,43 triliun, naik dibandingkan 2018 yang mencapai Rp 22,53 triliun. Kenaikan ini disebabkan fokus pemerintah pada pembangunan infrastruktur sebagai prioritas pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan daya saing bangsa.