EKBIS.CO, JAKARTA -- Dunia usaha sangat menantikan realisasi insentif super deduction tax. Kebijakan ini memberikan keringanan pajak bagi industri yang berinvestasi untuk pendidikan vokasi maupun kegiatan riset dan pengembangan (R&D) guna menciptakan inovasi.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani mengatakan, insentif fiskal tersebut dibutuhkan agar swasta dapat semakin maksimal dalam menciptakan tenaga kerja berkualitas. Di sisi lain, insentif ini memungkinkan proses link and match lebih banyak. "Kemampuan tenaga kerja dan kebutuhan industri menjadi selaras," ujarnya ketika dikonfirmasi Republika, Ahad (3/3).
Rosan menyebutkan, super deduction tax sesuai dengan usulan kalangan industri. Tujuan utamanya adalah meningkatkan produktivitas sumber daya manusia (SDM) sekaligus meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global. Khususnya, dalam menghadapi era industri 4.0 saat ini.
Melalui skema super deduction tax, Rosan optimistis, akan semakin banyak perusahaan yang terlibat dalam pendidikan vokasi dan program R&D. Tidak hanya untuk kepentingan swasta itu sendiri, juga memberikan dampak pada perekonomian nasional. "Misalnya, dalam memacu ekspor," katanya.
Indonesia memang agak terlambat dalam mengimplementasikan super deduction tax. Beberapa negara di Asia Tenggara telah menerapkannya. Tapi, menurut Rosan, lebih baik terlambat dibanding dengan tidak sama sekali untuk berpacu dalam implementasi revolusi industri 4.0 ini.
Sekretaris Jenderal Haris Munandar meyakini, keberadaan super deduction tax penting untuk mampu mendorong inovasi melalui riset pada sektor industri. Hal ini patut menjadi prioritas mengingat daya saing Indonesia yang terbilang rendah dalam hal riset maupun penelitian dan pengembangan. "Insentif fiskal (super deduction tax) diharapkan mampu meningkatkannya (daya saing)," ucapnya.
Pernyataan Haris mengacu pada laporan yang dikeluarkan World Economic Forum (WEF) bertajuk The Global Competitiveness Report 2018. Dalam laporan tersebut, Indonesia menempati peringkat ke-45. Dari segi kemampuan inovasi, Indonesia masih ada di peringkat ke-68. Meski tidak memiliki target spesifik, Haris berharap super deduction tax akan membantu meningkatkan peringkat Indonesia.
Selain itu, Haris juga berharap, insentif fiskal ini akan membantu menaikkan persentase pengeluaran R&D Indonesia yang sekarang masih kurang dari 0,1 persen terhadap PDB. Dalam laporan WEF tersebut, Indonesia berada di peringkat 112 dari aspek investasi untuk R&D. "Diharapkan, bisa jadi dua persen (terhadap PDB)," katanya.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, perusahaan yang terlibat dalam program pendidikan atau berinvestasi untuk vokasi akan mendapatkan potongan pajak hingga 200 persen. Misalnya, ketika sebuah perusahaan memberi bantuan senilai Rp 1 miliar untuk SMK, pemerintah akan memberi potongan pajak hingga Rp 2 miliar dalam lima tahun.
Menurut Airlangga, kebijakan ini merupakan sebuah skema yang win-win solution. Di satu sisi, industri membantu pemerintah dalam meningkatkan kualitas SMK. "Di sisi lain, industri bisa mendapatkan tenaga kerja yang kemampuannya sesuai dengan kebutuhan," ujarnya dalam rilis yang diterima Republika, Sabtu (2/3).
Selain itu, fasilitas super deduction tax juga diberikan kepada industri yang melakukan kegiatan R&D. Total potongannya lebih besar, yakni hingga 300 persen. Menurut Airlangga, insentif ini sudah sesuai dengan fokus pemerintah untuk menggenjot kualitas SDM.
Airlangga menambahkan, kini, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai skema super deduction tax terus diharmonisasikan dan diprediksi akan keluar pada bulan ini. Sembari menunggu, industri sudah bisa mulai menghasilkan inovasi sesuai dengan sektornya masing-masing. Pemerintah berkomitmen untuk mendukung penuh dan memfasilitasi kerja sama dengan pihak terkait.