EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah optimistis realisasi investasi di sektor pariwisata pada tahun ini dapat meningkat. Keyakinan tersebut dirasakan setelah realisasi investasi pariwisata sempat turun empat persen dari Rp 24 triliun pada 2017 menjadi Rp 20 triliun pada 2018.
Tanpa menyebutkan target pertumbuhan secara pasti, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong menjelaskan, optimisme tersebut muncul seiring dengan pergeseran pola konsumsi masyarakat. Ia menjelaskan, kini semakin sedikit orang yang membeli pakaian ataupun jam bermerek. Sebagai gantinya, mereka cenderung mengeluarkan uang untuk jalan-jalan ke tempat baru.
"Perubahan pola konsumsi ini berdampak pada pertumbuhan di sektor pariwisata, termasuk ke investasinya," ujarnya ketika ditemui di acara Regional Investment Forum (RIF) di Tangerang Selatan, Senin (11/3).
Thomas menjelaskan, penurunan tingkat realisasi investasi pariwisata pada tahun lalu seiring dengan penurunan secara global. Di seluruh dunia, investasi internasional mengalami penurunan hingga 20 persen. Tapi, tahun ini, ia memprediksi investasi pariwisata akan kembali pulih dan bahkan berlari lebih kencang.
Thomas menambahkan, pergeseran pola konsumsi dari platform offline ke online turut berkontribusi atas prediksi investasi. E-commerce dan agen travel online terus tumbuh tiap tahun, sehingga masyarakat semakin mudah berwisata. Hal ini menjadi daya tarik lebih bagi calon investor, baik dari dalam negeri maupun asing.
Thomas menyebutkan, keyakinan itu juga muncul seiring dengan peningkatan jumlah wisatawan asing yang melancong ke Indonesia sejak enam tahun terakhir. Pada 2013, sekitar 8,8 juta turis asing datang ke Indonesia yang meningkat hingga 15,8 juta orang pada tahun lalu. Salah satunya dikarenakan kebijakan bebas visa yang diterapkan pemerintah Indonesia.
Faktor lain adalah usaha berkelanjutan dari pariwisata. Di antaranya, pembangunan bandara berstandar internasional seperti New Yogyakarta International Airport yang diprediksi beroperasi pada bulan depan.
"Selain itu, ada peresmian apron baru di Ngurah Rai dan runway baru di Bandara Soekarno Hatta," ujar Thomas.
Semakin terbukanya Indonesia untuk membuat perjanjian perdagangan dengan banyak negara juga memberikan tambahan optimisme bagi Thomas. Apalagi setelah pakta perdagangan Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) ditandatangani pada pekan lalu.
Thomas menjelaskan, dalam perjanjian IA-CEPA tersebut, ada dua sektor yang berpeluang mendapatkan investasi besar. Salah satunya pariwisata, di mana Australia memiliki industri wisata laut yang baik. "Kekuatan ini muncul dengan 340 pelabuhan yacht atau marina dan kepemilikan kapal yang tinggi di sana," ucapnya.
Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyebutkan, investasi di pariwisata sulit terdeteksi secara nominal karena telah terjadi pergeseran konsep investasi. Lima sampai 10 tahun lalu, investasi didominasi oleh perusahaan swasta yang membangun hotel maupun tempat wisata lain dari titik nol.
Sedangkan, saat ini, investasi cenderung 'intervensi' properti yang sudah ada seperti melalui platform Airbnb ataupun Airyrooms.
Rudiantara menambahkan, pariwisata kini tidak lagi berbicara investasi, melainkan revenue dari para pemain di ekosistem. Termasuk di antaranya melalui aplikasi-aplikasi yang mampu mengisi ‘ceruk-ceruk’, bukan lagi membangun dari nol seperti mindset tempo dulu.
"Dengan intervensi digital, kamar yang tadinya tidak tergunakan, sekarang mampu menghasilkan (pendapatan)," tuturnya.
Rudiantara menilai, sektor pariwisata akan banyak mendukung pertumbuhan ekonomi digital Indonesia. Ia memprediksi, kontribusi di sub sektor hotel berbintang yang berada di bawah sektor pariwisata saja dapat berkontribusi 6-7 miliar dolar AS tiap tahun. Sementara itu, sub sektor airlines setidaknya mampu menghasilkan lebih dari 10 miliar dolar AS per tahun.