EKBIS.CO, JAKARTA -- Sepanjang Januari sampai Maret ini, pengadaan beras dari dalam negeri oleh Perum Bulog berkisar di angka 20 ribu ton. Total tersebut hanya sekitar 1,3 dari target yang ditetapkan pemerintah melalui rapat koordinasi terbatas di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, yaitu 1,5 juta ton sampai pertengahan tahun.
Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog Tri Wahyudi Saleh mengatakan, kinerja serapan yang minim dikarenakan masih tingginya harga gabah di tingkat petani. Dampaknya, Perum Bulog mengalami kesulitan membeli gabah milik petani.
"Kemarin kan harga masih Rp 5.100 (per kilogram), tapi sudah mulai turun," tuturnya ketika ditemui di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (18/3).
Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras Oleh Pemerintah, perseroan hanya dapat menyerap gabah dengan harga Rp 3.700 per kilogram. Maksimal fleksibilitasnya adalah 10 persen, yaitu Rp 4.070 per kilogram.
Tri optimistis, Bulog akan dapat melakukan penyerapan secara lebih maksimal setelah ini. Sebab, pada April, harga gabah diprediksi akan semakin turun, seiring dengan mendekati puncak musim panen raya. "Di Banyumas, Cilacap dan Sulawesi Selatan sudah panen," katanya.
Menurut Tri, saat ini, harga gabah di pasaran sudah mulai turun menyentuh angka Rp 4.200 per kilogram. Misalnya di sebagian besar Pulau Jawa hingga Sulawesi. Apabila harga sudah masuk dalam ‘radar’, Bulog akan segera memaksimalkan serapan dan mencapai target 1,8 juta ton sampai akhir tahun.
Meski angka serapan terbilang rendah, Tri memastikan stok cadangan beras pemerintah (CBP) di gudang Bulog masih mencukupi. Khususnya, menjelang bulan Ramadhan dan Lebaran yang tinggal hitungan bulan.
Sementara itu, Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian Agung Hendriadi mengatakan, minimnya pengadaan beras dalam negeri dikarenakan outlet penyaluran Bulog yang semakin berkurang. Khususnya sejak beras sejahtera (rastra) dialihkan menjadi bantuan pangan non tunai (BPNT) sejak pertengahan tahun ini.
Penurunan permintaan tersebut tidak diiringi oleh penurunan tingkat penyerapan atau pembelian ke petani. "Kalau membeli tapi tidak dijual, bagaimana (distribusinya)," ucap Agung.
Dengan kondisi tersebut, Agung menilai, Bulog harus mencari pasar di luar 'market' yang telah ditetapkan pemerintah. Misal, Bulog dapat menjangkau daerah yang masih kekurangan beras atau tidak dapat memproduksi sendiri seperti Maluku Utara.
Saran lain yang diberikan Agung adalah memperpanjang penyaluran rastra sampai akhir Desember. Sebab, dalam tiga tahun terakhir, penyaluran rastra mengalami pengurangan hingga puncaknya pada tahun ini, Bulog hanya mendapatkan tugas 230ribu ton sampai April.
Terlepas dari permasalahan yang ada, Agung optimistis, penyaluran dalam negeri masih tetap berjalan dengan maksimal. "Akan kita genjot terus, jadi tenang saja," tuturnya.
Keyakinan Agung didasari atas keleluasan yang diberikan pemerintah terhadap Bulog dalam menyerap gabah petani melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan CBP. Dalam regulasi itu, Bulog dapat menyerap CBP memakai skema pergantian selisih.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman menuturkan, Bulog juga harus memperhatikan kualitas beras. Sebab, para penerima manfaat BPNT cenderung tidak minat terhadap beras Bulog karena kualitasnya yang rendah.
Ilman menambahkan, skema pemberian BPNT dilakukan melalui rekening atm atau non tunai. Saldo dalam rekening ini kemudian bisa dicairkan di e-warung tertentu yang sudah ditunjuk pemerintah.
Pengelola e-warung dibebaskan untuk menjual beras dari Bulog atau beras jenis premium. "Sementara itu penerima manfaat bisa mencairkan bantuan tersebut di e-warung terdekat dan juga untuk jenis beras yang dijual di situ," katanya.