EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, pendapatan negara dari pajak dalam negeri mengalami perlambatan sepanjang kuartal pertama 2019. Dalam pemaparan realisasi APBN 2019 di Jakarta pada Senin (23/4), terlihat bahwa pertumbuhan pendapatan pajak dalam negeri hanya 1,8 persen secara tahunan menjadi Rp 249 triliun.
Dalam periode yang sama pada tahun lalu, pertumbuhan pajak dalam negeri mencapai 9,9 persen secara year on year (yoy). Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Robert Pakpahan mengatakan, salah satu faktor penyebab perlambatan itu adalah perlambatan pertumbuhan penerimaan pajak non migas.
Pada tahun ini, pertumbuhannya hanya mencapai 0,6 persen secara yoy menjadi Rp 234,5 triliun, menurun signifikan dibanding periode sama pada tahun lalu yang mencapai 16,3 persen (yoy).
Perlambatan pertumbuhan penerimaan pajak non migas itu sejalan dengan penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) non migas (neto). Yakni, hanya tumbuh 7,5 persen secara yoy, di mana tahun lalu pertumbuhannya dapat mencapai 8,3 persen.
"Dampaknya ke PPh non migas, jadi melambat," tutur Robert dalam konferensi pers di Jakarta, kemarin.
Robert menambahkan, yang lebih kurang bagus adalah di Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Penerimaan PPN selama kuartal pertama adalah Rp 89,9 triliun, menurun 8,9 persen secara yoy. Sementara itu, pada periode yang sama pada tahun lalu, penerimaan PPN dapat menyentuh angka 15 persen.
Menurut Robert, pencapaian yang minus tersebut dikarenakan pertumbuhan pembayaran restitusi (pembayaran kembali) pajak yang cukup drastis di awal tahun. Pada periode Januari sampai Maret ini, nominal restitusi mencapai Rp 50,65 triliun atau tumbuh 47,83 persen secara tahunan.
Sedangkan pada periode yang sama di tahun lalu, pembayaran restitusi pajak hanya tumbuh 34,26 persen secara yoy. "Jadi, ada pertumbuhan restitusi cepat yang belum pernah terjadi sebelumnya," katanya.
Tapi, Robert memprediksikan, pertumbuhan restitusi pajak di bulan-bulan berikutnya akan mulai mengalami perlambatan. Khususnya memasuki Mei atau Juni mengingat pemerintah sengaja menggencarkan restitusi pada kuartal pertama. Sampai akhir tahun, Kemenkeu menargetkan pertumbuhan restitusi pajak di angka 18 sampai 20 persen, dua kali lipat dibanding pertumbuhan pada umumnya, yakni 10 persen tiap tahun.
Sepanjang tahun ini, pemerintah memproyeksikan pembayaran restitusi mencapai Rp 141,6 triliun, tumbuh sekitar 20 persen dari realisasi tahun lalu yang ada di kisaran Rp 118 triliun. Robert memastikan, target penerimaan sepanjang tahun sudah mempertimbangkan poin tersebut.
Robert juga tidak khawatir kebijakan restitusi dapat mengganggu target penerimaan pajak sampai akhir 2019. Tercatat, penerimaan pajak sampai akhir Maret 2019 adalah Rp 248,9 triliun atau masih 15 persen dari target Rp 1.577,5 triliun.
"Kami akan terus melayani dan mengawasi dengan sistem yang lebih baik," ujarnya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara menjelaskan, dalam jangka pendek, kebijakan restitusi memang akan menggerus potensi penerimaan pajak, terutama PPN. Tapi, untuk jangka panjang, restitusi justru mampu mendorong pertumbuhan penerimaan dalam bentuk lain. Sebab, restitusi dipercepat agar dunia usaha lebih fleksibel, sehingga mampu ekspansi.
Fleksibilitas tersebut dibutuhkan dalam merespon perkembangan perekonomian global yang diprediksi mengalami perlambatan, menurut World Economic Outlook (WEO). "Dunia usaha jadi memiliki arus kas, sehingga ada ruang bagi mereka," kata Suahasil.
Dengan berbagai dampak yang ada, Suahasil memastikan, Kemenkeu akan terus memantau efek restitusi terhadap berbagai sektor. Khususnya industri pengolahan dan pertambangan yang terkena dampak terbesar.