Senin 29 Apr 2019 08:00 WIB

Masyarakat Diminta Tingkatkan Kesadaran Mengenai Antibiotik

Pada 2050, resistensi antimikroba diproyeksi menjadi pembunuh nomor satu di dunia.

Rep: Imas Damayanti/ Red: EH Ismail
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementan I Ketut Diarmita (kanan).
Foto: Humas Kementan.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementan I Ketut Diarmita (kanan).

EKBIS.CO, BALI – Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan mengajak seluruh masyarakat dan mahasiswa untuk meningkatkan kesadaran dan kebijakan dalam penggunaan antibiotik. 

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementan I Ketut Diarmita mengatakan, peningkatan kesadaran penggunaan antibiotik penting dilakukan sebagai upaya pengendalian global. Sebab, pada 2050 resistensi antimikroba (AMR) diproyeksi menjadi pembunuh nomor satu di dunia. 

“Angka kematiannya bisa mencapai 10 juta jiwa,” kata Ketut dalam keterangan pers yang diterima Republika, Senin (29/4). 

Dalam menghadapi ancaman AMR tersebut, Ketut menjelaskan, Indonesia telah memiliki rencana aksi nasional (RAN) untuk mencegah dan memperlambat laju AMR. Tujuan strategis RAN itu, terdiri dari beberapa aspek antara lain peningkatan kesadaran dan pemahaman resistensi melalui komunikasi, pendidikan, dan pelatihan yang efektif, memperkuat pengetahuan berbasis bukti (evidence base) melalui surveilans dan penelitian, mengurangi kejadian infeksi melalui praktek sanitasi, higiene dan pencegahan infeksi, menggunakan obat antimikroba secara bijak dalam kesehatan hewan dan manusia, dan meningkatkan investasi melalui penemuan obat,  alat diagnostik, dan vaksin baru untuk menurunkan penggunaan antimikroba dengan melibatkan kemitraan Public Private Pathnership.

Dia menjelaskan, untuk memperlambat laju AMR, di sektor peternakan Kementan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14 Tahun 2017 yang salah satunya mengatur pelarangan penggunaan antibiotic growth promotant (AGP) yang kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan No.12026/PK.320/F/05/2018 tentang Pengawasan Obat Hewan. 

Adapun pengawasan pelarangan penggunaan AGP tersebut dilakukan oleh Kepala Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan yang mengaktifkan pengawasan obat hewan, melibatkan Pengawasan Obat Hewan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) ditingkat provinsi dan berkoordinasi dengan pengawas obat hewan di kabupaten dan kota sesuai dengan tugas,  wewenang, dan tanggung jawab masing-masing. 

Menurut Ketut, strategi budidaya unggas pasca pelarangan AGP yaitu penggunaan feed additive lain yang dapat meningkatkan feed conversion rate (FCR) dan kesehatan unggas seperti probiotik, prebiotik, acidifier, dan enzim. Penggunaan feed supplement yang berkualitas berupa penerapan biosecurity tiga zona, peningkatan kualitas pakan, serta pemilihan day old chickern DOC yang sehat dan berkualitas.

 

Pembangunan Peternakan

Ketut menjabarkan, adapun program Ditjen PKH yang sedang dilakukan antara lain Siwab, Pengembangan Sapi Perah, Pengembangan Ternak Ruminansia Potong, Bekerja, serta Pengendalian dan Pemberantasan PHMS. 

“Jadi, yang sudah kami lakukan banyak sekali dalam 4,5 tahun ini,” kata dia. 

Khusus tentang dukungan terhadap pengembangan dan pembangunan peternakan unggas rakyat, Ketut menyampaikan bahwa Kementan selalu mengedepankan kebijakan yang pro rakyat. Dia mencontohkan, program Bkerja merupakan langkah nyata keberpihakan pemerintah di mana ayam lokal menjadi komoditas utama dalam program ini. 

Sebanyak 20 juta ekor ayam didistribusikan untuk masyarakat pada tahun 2019. Lebih lanjut Ketut menambahkan keberpihakan pemerintah melalui implementasi Permentan Nomor 32 tahun 2017 yang bertujuan melindungi pelaku peternakan dan masyarakat secara keseluruhan juga dapat menjamin para peternak. 

“Dalam Permentan ini para pelaku usaha yang memproduksi 300 ribu ekor per minggu harus mempunyai RPHU yang memiliki fasilitas rantai dingin seperti DOC maupun FS,” kata Ketut. 

Selain, kata dia, hasil produksi ayam itu bisa beredar asal memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh  lembaga Sertifikasi. Adapun telur konsumsi wajib memiliki sertifikat veteriner yang dikeluarkan dinas provinsi, kabupaten, maupun kota. Sedangkan proporsi distribusi DOC FS antara perusahaan pembibit (integrasi) dengan pelaku usaha mandiri, koperasi, dan peternak memiliki skala perbandingan 50 persen banding 50 persen. 

“Dan masih ada lagi pengaturan-pengaturan lain yang akan melindungi peternak dan masyarakat,” kata dia.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement