EKBIS.CO, JAKARTA -- Para pelaku fintech equity crowdfunding (ECF) atau urun dana permodalan mendorong percepatan proses izin dari regulator. Setelah peluncuran Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) nomor 37/POJK.04/2018 tentang Layanan Urun Dana melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi bulan Desember 2018, fintech di bidang ini berlomba-lomba peroleh izin agar dapat segera beroperasi.
Direktur Komunikasi dan Pengembangan Komunitas Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH), Tasa Nugraza Barley mengatakan fintech ECF masih terbilang baru. Hingga saat ini ada delapan ECF yang terdaftar di Aftech. Semuanya sedang dalam memproses perizinan di OJK. Setidaknya empat diantaranya sudah mulai beroperasi karena sudah ada sebelum POJK No 37 terbit.
ECF sendiri muncul bibitnya sekitar lima tahun silam saat Akseleran berdiri. Namun karena regulasi terkait ECF belum ada, Akseleran mengambil jalur peer to peer lending.
Baru pada 2017, fintech ECF, Bizhare muncul dan berkonsultasi dengan OJK. CEO Bizhare, Heinrich Vincent mengatakan Bizhare menjadi salah satu fintech ECF yang diajak terlibat dalam rancangan POJK No 37.
"Saat itu mereka bolehkan operasional saja dulu sambil OJK membuat regulasinya," kata Vincent di Aftech Media Clinic, Kuningan, Jakarta, Kamis (9/5).
Bizhare telah mengajukan perizinan sejak Januari 2019 dan hingga kini prosesnya masih berjalan. Dalam masa izin tersebut, Bizhare tidak boleh mengeluarkan proyek pendanaan baru.
Vincent mengaku sangat perlu izin tersebut untuk percepatan operasional bisnis dan kredibilitas Bizhare. Menurutnya, permintaan pasar sangat tinggi terhadap model bisnis ECF karena memberi akses pada masyarakat luas untuk investasi dengan membangun bisnis.
Bizhare adalah fintech urun dana yang fokus pada pendanaan perusahaan waralaba. Aplikasi Bizhare bekerja mengumpulkan dana investor untuk mendirikan perusahaan waralaba, semisal Indomaret.
Hingga saat ini, Bizhare telah mengumpulkan pendanaan sekitar Rp 13 miliar dengan basis investor sebanyak 17 ribu orang. Total pasive income yang dihasilkan dari investasi waralaba untuk kembali pada investor yakni sekitar Rp 1,2 triliun.
"Pada dasarnya kami ingin membantu teman-teman untuk bebas finansial, dan menciptakan lapangan kerja," kata dia. Bisnis waralaba yang dibangun menggunakan urun dana ini tercatat telah menciptakan sekitar 2.000 lapangan kerja.
Pramdana adalah fintech ECF lain yang juga sedang menunggu izin OJK. CEO Pramdana, Kresna Satya Prameswara mengatakan perizinan menjadi tantangan tersendiri karena prosesnya yang cukup lama. Untuk fintech ECF, OJK menerapkan langsung perizinan, tidak hanya sebatas terdaftar.
"Kami berharap perizinan dapat diproses lebih cepat dan kami siap mendukung untuk memenuhi semua kebutuhannya," kata dia. Pramdana sendiri fokus urun dana pada investasi properti.
Alumnia adalah fintech ECF yang fokus pada urun dana untuk riset dan bisnis komersil berdasarkan riset. CEO Alumnia, Agus Wicaksono mengatakan Alumnia menitikberatkan pada kemanfaatan berkelanjutan. Sehingga urun dana berujung pada proyek-proyek yang berorientasi Sustainable Development Goals (SDG).