EKBIS.CO, JAKARTA – Pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai, langkah pemerintah menghentikan impor bahan bakar minyak jenis solar dan avtur cukup positif. Menurut Fahmy, langkah itu bisa dicapai dengan memaksimalkan pengolahan biodiesel 100 (B-100) dari minyak sawit menjadi solar dan avtur.
“Saya kira ini sangat bagus untuk memperkuat Kementerian ESDM dan Pertamina untuk menurunkan impor solar dan avtur yang besar,” kata Fahmy kepada Republika.co.id, Ahad (12/5).
Fahmy melanjutkan, pengolahan minyak sawit menjadi solar dan avtur bukan suatu hal yang mustahil untuk saat ini. Sebab, pada Januari lalu, Pertamina telah menandatangani kerja sama dengan perusahaan energi asal Italia untuk pengolahan minyak sawit menjadi bahan bakar minyak (BBM).
Kerja sama tersebut, dikatakan Fahmy, harus benar-benar dimanfaatkan kedua perusahaan agar keinginan dari masing-masing negara dapat tercapai. Di sisi lain, pengolahan sawit menjadi BBM dalam jangka menengah akan meningkatkan permintaan, sehingga diyakini meningkatkan harga sawit dan menggairahkan petani perkebunan sawit.
“Harus ada kebijakan domestic market obligation (DMO) khusus sawit. Ini untuk memastikan produksi sawit bagi dalam negeri sekaligus harga yang ditetapkan,” ujarnya.
Sementara itu, untuk pengolahan solar dan avtur dari minyak mentah yang dihasilkan perusahaan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), dinilai bakal menguntungkan Pertamina dan KKKS. Kendati penjualan minyak mentah KKKS ke dalam negeri dikenakan pajak penjualan, hal itu akan lebih murah ketimbang harus mengeluarkan biaya ekspor.
Hanya saja, permasalahan terjadi pada kecukupan minyak mentah dari KKKS untuk memenuhi permintaan solar dan avtur dalam negeri. Sekaligus, tingkat kemampuan dari kilang-kilang yang dimiliki Pertamina saat ini.
“Tapi saya kira itu sudah dihitung untuk kebutuhannya. Optimalisasi pembelian minyak mentah oleh Pertamina kepada KKKS saya rasa lebih banyak mutual benefit-nya,” kata dia.