EKBIS.CO, JAKARTA – PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) atau IPC berhasil mengantongi laba bersih sebesar Rp 757,9 miliar sepanjangan kuartal I 2019. Perolehan laba tersebut tercatat naik 50,8 persen dibanding perolehan pada kuartal I 2018 sebesar Rp 500 miliar. Pendorong utama peningkatan laba tersebut utamanya didorong oleh efisiensi biaya produksi perseroan.
Direktur Utama IPC, Elvyn G Masassya, mengatakan, secara bisnis, perdagangan melalui terminal Tanjung Priok pada kuartal I tahun ini sedikit mengalami pelemahan dibanding kuartal IV tahun lalu. Hal itu karena pasar masih menanti agenda Pemilu 2019 yang akan digelar pada April tahun ini.
Namun, kendati terdapat pelemahan, perseroan tetap mampu mencapai pertumbuhan positif laba bersih jika dibanding periode sama tahun lalu. Elvyn mengatakan, kenaikan laba bersih perseroan utamanya didorong oleh dua faktor. Yakni jumlah peti kemas yang meningkat serta efisiensi biaya yang dijaga.
“Dua itulah yang menyebabkan laba kita bisa lebih tinggi. Aspek lain adalah digital operasi sebagai upaya untuk menurunkan cost production,” kata Evlyn di Jakarta, Kamis (16/5).
Elvyn memaparkan, selain mendapatkan kenaikan laba bersih sebesar 50,8 persen, IPC juga mencatat kenaikan pendapatan usaha sebesar 5,53 persen menjadi Rp 2,74 triliun. Meski begitu, EBITDA perseroan tercatat turutn 0,9 persen dari Rp 1,09 triliun menjadi Rp 1,08 triliun. Selain itu, Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) sedikit naik dari Rp 65,58 persen menjadi 67,84 persen.
Lebih lanjut, arus petikemas pada kuartal I 2019 tercatat mencapai 1,83 juta TEus. Capaian itu sama dengan arus petikemas pada periode sama tahun lalu. Sedangkan, untuk arus non petikemas, IPC menyatakan terjadi kenaikan sebesar 5,53 persen dari 13,36 juta ton menjadi 14,10 juta ton.
Ia menyampaikan, ke depan IPC masih memiliki sejumlah tantangan, khususnya untuk terus menurunkan biaya produksi. Tantangan itu datang dari belum optimalnya jaringan pelayaran, belum adanya standarisasi pelabuhan, serta tingginya inefisiensi transportasi darat. Karena itu, penurunan biaya produksi masih akan menjadi fokus perseroan ke depan.
Sejalan dengan itu, IPC juga menargetkan biaya logistik nasional di pelabuhan dapat turun 4,9 persen pada tahun 2022. “Tahun lalu, biaya logistik nasional mencapai 23,6 persen dari total produk domestik bruto. Kami targetkan tiga tahun lagi turun menjafi 18,7 persen,” ujarnya.
Penurunan itu, dikatakan Elvyn ditempuh dengan konsep trilogi maritim yang disusun oleh IPC. Konsep tersebut yakni mencakup tiga faktor, di antaranya standarisasi pelabuhan, aliansi pelayaran, serta industri yang terakses baik dengan pelabuhan. Pelabuhan Tanjung Priok, kata Elvyn, harus menjadi fasilitator perdagangan.
Sementara ini, Elvyn mengungkapkan, perseroan telah mempersiapkan diri untuk menjadi pelabuhan hub terbesar di kawasna Asia Tenggara. IPC sementara ini telah membuka layanan pelayaran langsung atau direct call service ke Amerika Serikat, Australia, dan Intra Asia.
Dampak dari pelayaran langsung itu yakni menurunkan biaya pengiriman via kapal sebesar 40 persen. Selain itu, waktu pengiriman yang lebih singkat dari 31 hari menjadi 21 hari. Efisiensi tercapai karena pengiriman tanpa melalui pelabuhan di Singapura.
Adapun sepanjang kuartal I 2019 ini, ELvyn mengungkapkan, pihaknya telah membuka bekerja sama dengan delapan pelabuhan internasional di dunia untuk pelayaran langsung.
Sementara itu, Direktur Transformasi dan Pengembangan Bisnis IPC, Ogi Rulino mengatakan, sebagai direktorat baru, pihaknya tengah memulai pengembangan big data untuk seluruh aktivitas di Tanjung Priok. Belajar dari fenomena start up di sektor jasa saat ini, big data menjadi kunci perusahaan untuk bisa memperlebar jangkauan bisnis.
“Data tanpa analisis itu hanya biasa. Jadi kita akan gunakan big data untuk analytical thinking agar kita bisa kembangkan ekosistem pelabuhan,” ujarnya.
Pada intinya, kata dia, big data digunakan IPC untuk bisa mengetahui detail setiap aktivitas kapal yang masuk dan keluar. Dengan begitu, perseroan dapat melalukan upaya untuk mempersingkat waktu transit, menekan biaya, dan inventarisasi barang yang masuk.
Selain itu, Ogi menyampaikan, dalam konteks IPC sebagai fasilitator perdagangan, terdapat tiga aspek utama yang bakal difokuskan ke depan. Di antaranya investarisasi aset fisik perusahaan, penyederhanaan regulasi, serta pembiayaan.