EKBIS.CO, JAKARTA -- Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) meminta pemerintah untuk mengevaluasi kembali kebijakan Domestik Market Obligation (DMO). Sebab, tercermin dari perjalanan kebijakan DMO tahun kemarin ternyata masih banyak perusahaan batu bara yang tidak bisa memenuhi syarat DMO.
Ketua Umum APBI, Pandu Sjahrir menjelaskan kebijakan DMO sebenarnya tidak begitu bermasalah untuk dipenuhi oleh para perusahaan besar. Hanya saja, pada praktiknya, kebijakan ini malah memberatkan para pengusaha batu bara di daerah yang memegang IUP.
"Kalau kami seperti generasi PKP2B mah sudah terarah lah. Kami ikut pusat. Yang kasian ini kan yang di daerah. Mereka produksinya dipotong karena nggak penuhi kuota DMO. Otomatis akan berpengaruh pada pendapatan daerah," ujar Pandu, Jumat (17/5).
Pandu menjelaskan dampak dari tak terpenuhinya kewajiban memasok 25 persen DMO tersebut bahkan sudah mulai terasa di Kalimantan Timur. Jatah produksi para perusahaan tambang batu bara di sana dicut secara agregat 150 juta ton. Akibatnya, akan berdampak pada PDB Kaltim pada tahun ini.
"Jadi menurut saya, apalagi harga dipatok 70 dolar AS itu sih kebijakan yang plus minus. Tapi terlalu banyak minusnya," ujar Pandu.
Apalagi mekanisme Transfer Kuota yang disebut pemerintah bisa menjadi solusi, Pandu menilai hal tersebut juga sulit untuk dieksekusi. Pandu mengatakan APBI sudah mengusulkan ke pemerintah untuk bisa menerapkan mekanisme pembayaran langsung saja ketimbang harus transfer kuota.
"Kita inginnya bayar langsung aja. misalnya dua tiga dolar per ton. Langsung masuk ke kas negara. Saat itu semua setuju. Tapi ESDM nggak sepakat. Tapi Kemenkeu sudah setuju sih," ujar Pandu.