EKBIS.CO, JAKARTA - Instrumen wakaf dinilai mampu mendorong kewirausahaan di Tanah Air. Dengan aset yang produktif, manfaat wakaf bisa membantu mengentaskan persoalan publik.
Ketua Badan Wakaf Indonesia Mohammad Nuh menjelaskan, penghimpunan aset wakaf, baik aset bergerak maupun aset tidak bergerak, menunjukkan kemampuan umat meng hasilkan modal dari potensinya sendiri. Ketentuan pengelola aset wakaf (nazir) tidak boleh mengambil man faat dari aset wakaf yang dikelolanya juga menjadi kelebihan. Pasalnya, dengan begitu nilai aset wakaf tidak tergerus.
BWI melihat penghimpunan wakaf belum diimbangi dengan kewirausahaan yang mumpuni. "Kalau menghidupkan wakaf, kita menghidupkan entrepreneurship," kata Nuh.
Ia menyadari hal yang luar biasa pasti tidak mudah. Jalan ke sana perlu terus dibangun.
Terlebih, karekteristik wakaf berbeda dengan donasi sosial keagamaan lain seperti zakat, infak, dan sedekah. Dari sisi nilai, aset wakaf harus abadi. Karena itu, manfaat wa kaf yang dikelola oleh nazir yang memiliki semangat bisnis juga akan lebih langgeng.
"Posisi wakaf sangat strategis. Kalau asetnya tidak boleh habis, nazir harus memiliki kerangka berpikir berbisnis dan berinvestasi jangka panjang," kata Nuh.
Nuh memberi gambaran. Jika 50 juta Muslim Indonesia berwakaf tunai sebesar Rp 10 ribu per bulan, akan terkumpul dana wakaf tunai sebesar Rp 500 miliar dalam satu bulan. Jumlahnya tidak mustahil lebih besar. Dengan wakaf tunai sebagai modal penguatan umat, Nuh yakin akan banyak persoalan keumatan yang bisa ditangani.
"Kita harus berpikir kreatif untuk menyelesaikan persoalan keumatan,"ucap Nuh.
Saat membuka diskusi kajian wakaf saham di lokasi yang sama, Nuh mengatakan, BWI masih punya tugas meningkatkan kemampuan nazir seiring makin beragamnya jenis wakaf. Pelatihan nazir pun terus dilakukan.
"Pada dasarnya, kami ingin memudahkan mereka yang mau berwakaf. Karena itu, pengelola wakafnya juga harus mengingkat pengetahuan dan kemampuannya," kata Nuh.
Di sisi penghimpunan, mantan menteri pendidikan dan kebudayaan itu menilai salah satu cara untuk meningkatkan kesadaran berwakaf melalui pendidikan. Selain teori, sekolah bisa melakukan habituasi bersedekah, berinfak, dan berwakaf.
Agar dana wakaf produktif, sekolah bisa membuat kantin berbasis dana wakaf. Manfaat dari usaha kantin bisa dipakai menyubsidi anak-anak tidak mampu di sekolah itu. De ngan begitu, anak-anak melihat dan merasakan langsung pengalaman berwakaf.
Secara terpisah, founderSa kinah Finance Murniati Mukhlisin menilai penting untuk mengajarkan dan mengenalkan ekonomi Islam, pengelolaan keuangan, dan menanamkan jiwa bisnis sedini kepada anak-anak. Anak-anak bisa diajak mengenal sifat- sifat Rasullah SAW dalam berbisnis dan konsep halal dan haram.
"Anak-anak juga diajak untuk memahami pentingnya zakat, infak, sedekah, wakaf sebagai media berbagi dengan sesama," ungkap Murniati melalui pesan tertulis kepada Republika, awal pekan ini.
Selain diajak untuk mencatatkan setiap jenis pemasukan dan pengeluaran mereka sehari-hari, mereka juga diajarkan untuk mencatatkan rencana dan impian dalam jangka pendek maupun jangka panjang serta bagaimana cara mengatur keuangan untuk meraih hal tersebut.
Anak-anak juga diajarkan bagaimana cara meraih rencana jangka pendek dan panjang mereka. Ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama dengan menabung atau menyisihkan uang jajan. Kedua dengan menambah pendapatan mereka dengan cara menjalankan bisnis masing-masing.
"Arahkan anak-anak untuk menciptakan produk atau kreasi mereka sendiri dari barang-barang bekas seperti kardus, koran bekas, sedotan, dan gelas plastik. Lalu, dorong mereka untuk menjual hasil kreasi mereka sendiri," kata Murniati.
Menurut Murniati, pemahaman konsep ekonomi Islam dan praktiknya dalam kehidupan sehari-hari penting diajarkan sejak dini kepada anak. Dia berharap kelak makin banyak anak yang tumbuh menjadi ekonom Islam yang kuat, mahir dalam pengelolaan ke uangan, dan memiliki jiwa bisnis yang mampu memberdayakan umat.