EKBIS.CO, JAKARTA -- Kepala Group Inovasi Keuangan Digital (IKD) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Triyono menilai, ada kemungkinan OJK akan membuat regulasi khusus yang mengatur mengenai teknologi finansial (tekfin) dengan model bisnis agregator. Kemungkinan ini muncul setelah melihat dominasi model bisnis agregator selama uji coba dalam regulatory sandbox berlangsung.
Menurut catatan OJK, terdapat 15 perusahaan tekfin dengan model bisnis aggregator selama dua batch regulatory sandbox. Di antaranya adalah ALAMI, Disitu, KPR Academy dan Cekaja yang berada pada batch pertama, serta Bandingin hingga Lifepal pada batch kedua.
"Dengan demikian, menurut kami, aggregator sudah seharusnya diatur," ujar Triyono dalam konferensi pers di Gedung OJK, Jakarta, Jumat (19/7).
Dalam terminologi perkomputeran, agregator adalah pengumpul atau suatu perangkat lunak maupun layanan web yang mengumpulkan jasa, produk atau layanan tertentu dalam satu platform. Triyono memberikan contoh, ketika masyarakat ingin membeli asuransi mobil. Dibandingkan harus mencari informasi mengenai asuransi dari satu perusahaan ke perusahaan lain, mereka dapat mengakses melalui agregator yang akan menuntun mereka ke produk tertentu.
Triyono menyebutkan, salah satu agregator dengan konsep menarik yang sudah tercatat oleh OJK adalah KPR Academy. Dengan mudah, masyarakat akan dipandu ke berbagai produk penawaran KPR oleh platform tersebut. Dengan begitu, konsumen tidak perlu lagi shopping around yang bersifat memakan waktu dan tenaga.
Triyono menyambut baik akan tren agregator dalam perusahaan tekfin. Sebab, model bisnis ini memberikan banyak dampak positif ke masyarakat. Khususnya dalam membuat keputusan yang lebih bijak dan cermat.
"Konsumen jadi semakin cerdas, karena mereka tidak sekadar dipengaruhi dalam membeli suatu produk atau layanan, melainkan berdasarkan kebutuhan mereka juga," tuturnya.
Triyono menilai, keberadaan agregator tidak hanya menguntungkan masyarakat, juga ekosistem tekfin secara keseluruhan. Ada beberapa perusahaan yang mengumpulkan informasi mengenai peer-to-peer (P2P) lending dan menghadirkannya kepada masyarakat sebagai opsi. Dengan begitu, masyarakat akan semakin mudah mencari informasi tentang P2P lending dalam satu wadah.
Dengan dampak besar yang diberikan tersebut dan potensinya, regulasi agregator akan menjadi sebuah kebutuhan. Peraturan ini mencegah mereka yang kerap tergoda untuk menyeberang ke arah model bisnis agen ataupun memberikan layanan tambahan, misal credit scoring.
Triyono memberikan contoh, sebuah perusahaan agregator mengumpulkan informasi mengenai asuransi. Ketika konsumen menggunakan jasa mereka, perusahaan bisa mendapatkan data atau background konsumen tersebut. Nantinya, data ini bisa saja diberikan maupun diperjualbelikan kepada perusahaan-perusahaan sebagai prospek. Hal ini sudah melintasi model bisnis dan definisi dari agregator itu sendiri.
Triyono menjelaskan, ‘lintas model bisnis’ itu yang ingin dihindari. Keberadaan regulasi akan mewajibkan agregator hanya bertindak sebagai agregator semata. "Kami ingin menjaga kemurnian bisnis, supaya mereka tidak menyeberang ke wilayah perizinan yang lain," katanya.
Secara umum, Triyono berharap, keberadaan tekfin dapat menambah stabilitas dari sistem keuangan. Sebab, basis konsumen akan semakin besar dan ragam pelayanan jasa keuangan juga semakin banyak. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan jumlah konsumen yang mengenyam pelayanan jasa keuangan dan mendapatkan dampak positif. Misal, membuat laporan keuangan sederhana melalui jasa accounting maupun merancang keuangan melalui financial planner.