EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah telah mengambil langkah strategis dengan menurunkan tarif tiket pesawat sebesar 10 persen untuk periode Natal dan tahun baru (Nataru). Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal menilai kebijakan ini sebagai langkah positif dalam menggeliatkan kembali roda perekonomian dari sektor pariwisata.
"Penurunan tarif tiket pesawat menurut saya bagus. Kalau kita melihat kondisi sekarang dari sisi demand (permintaan) yang lemah, terutama di kalangan kelas menengah," ujar Faisal saat dihubungi Republika di Jakarta, Kamis (28/11/2024).
Faisal mengingatkan kontribusi besar kelas menengah bagi ekonomi nasional. Faisal berharap penurunan harga tiket mampu mendorong mobilitas masyarakat, terutama kelas menengah dalam mendukung sektor pariwisata.
"Jadi diharapkan ketika biaya transportasi udara turun akan membantu mobilitas lebih baik lagi dan mendorong sektor pariwisata yang mana sangat bergantung sekali pada mobilitas kelas menengah yang mayoritas jumlahnya," ucap Faisal.
Faisal menilai kebijakan ini membawa angin segar bagi industri penerbangan. Menurut Faisal, industri penerbangan bisa mengoptimalkan pendapatan dengan pertumbuhan penumpang selama masa Nataru.
"Bagi industri penerbangan ini sebetulnya bisa membantu bisnisnya karena kalau permintaan bagus, tingkat profitabilitas bisa menjadi lebih baik," sambung Faisal.
Faisal menyampaikan pemerintah tentu telah memiliki kajian mendalam dengan melihat berbagai indikator sebelum memutuskan penurunan tarif tiket pesawat. Hal ini, lanjut Faisal, yang memperkuat tekad pemerintah untuk membantu masyarakat mendapatkan tarif tiket pesawat yang lebih terjangkau.
"Kalau kita melihat dari bahan baku, harga minyak sekarang kan cenderung rendah, malah ada penurunan meski pelan-pelan. Ini bisa memberikan ruang untuk menyesuaikan tarif pesawat agar lebih terjangkau. Saya pikir ini bagus dan efeknya baik bagi industri penerbangan pariwisata dan juga membantu perekonomian secara makro," kata Faisal.
Berkaca data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kelas menengah di Indonesia terus merosot dalam lima tahun terakhir. Pelaksana tugas (Plt) Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan jumlah penduduk kelas menengah Indonesia pada 2024 tercatat sebanyak 47,85 juta orang atau 17,13 persen atau turun dari 2019 yang sebanyak 57,33 juta orang atau 21,45 persen, 2021 sebanyak 53,83 juta orang atau 19,82 persen, 2022 sebanyak 49,51 juta orang atau 18,06 persen, 2023 tercatat sebanyak 48,27 juta orang atau sekitar 17,44 persen.
"Kelas menengah ini penting, karena memiliki peran yang sangat kritikal dan krusial sebagai bantalan ekonomi suatu negara," ujar Amalia saat konferensi pers bertajuk "Menjaga Daya Beli Kelas Menengah sebagai Fondasi Perekonomian Indonesia" di kantor BPS, Jakarta, Jumat (30/8/2024).
Amalia menilai semakin tebal tingkat kelas menengah akan berdampak positif bagi perekonomian suatu negara. Amalia menyampaikan tingginya tingkat kelas menengah akan mampu meredam gejolak ekonomi dari eksternal maupun domestik.
"Tetapi ketika proporsi kelas menengah itu relatif tipis, maka suatu perekonomian itu kurang resilien terhadap gonjangan. Jadi artinya peran kelas menengah tidak hanya di Indonesia, tetapi di berbagai dunia ini menjadi penting untuk memperkuat daya tahan suatu ekonomi terhadap berbagai gonjangan," ucap Amalia.
Amalia menyampaikan kelas menengah merupakan salah satu penyumbang utama perekonomian Indonesia. Amalia menyebut kelas menengah selama ini menjadi bantalan ekonomi Indonesia, termasuk saat menghadapi pandemi covid-19.