EKBIS.CO, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menuturkan, defisit Indonesia dengan China terus menunjukkan pelebaran sejak lima tahun terakhir. Penyebabnya, perbedaan tingkat permintaan terhadap karakteristik barang yang masuk dalam perdagangan kedua negara.
Sementara Indonesia ekspor komoditas mineral dan alam ke China, sebaliknya, China mengekspor produk elektronik, mesin dan juga bahan kimia. Andry menyebutkan, permintaan domestik terhadap produk elektronik dan mesin mengalami peningkatan. "Setidaknya dalam dua tahun terakhir," tuturnya saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (21/7).
Beberapa kenaikan didorong oleh barang untuk kebutuhan produksi. Andry menyebutkannya sebagai kondisi baik karena menjadi impor yang produktif. Hanya saja, tidak sedikit juga impor berupa produk final barang konsumsi, sehingga Pemerintah harus terus mewaspadainya.
Selain itu, dalam empat tahun terakhir, ada peningkatan tajam terhadap impor besi dan baja dari industri Indonesia. Hal ini salah satunya didorong oleh kebutuhan dalam negeri saat ini yang tinggi akibat program infrastruktur yang cukup masif. Dampaknya, produksi dalam negeri tidak cukup dapat memenuhi permintaan tersebut.
Tapi, Andry menambahkan, kondisi ini berbeda dengan komoditas alam. Booming dari komoditas mineral sudah lewat dan permintaan komoditas tersebut dari China juga ikut menurun. Tahun 2015 terlihat adanya penurunan tajam terhadap produk ekspor terbesar Indonesia. "Yakni barang tambang seperti batu bara dan komoditas bijih seperti bijih nikel, alumunium dan tembaga," katanya.
Ada berbagai hal yang harus dilakukan pemerintah untuk mengantisipasinya. Pertama, memberikan Non-Tarif Bariers (NTB) atau kebijakan hambatan nontarif yang cukup ketat untuk produk elektronik dengan tujuan konsumsi. Kebijakan tersebut bertujuan menghalangi masuknya barang impor melalui berbagai kebijakan yang bukan tarif masuk.
Andry menuturkan, kebijakan NTB akan memudahkan Indonesia untuk memperoleh produk yang berkualitas. Selain itu, NTB dapat digunakan sebagai bentuk menjaga agar impor produk-produk tersebut tidak semakin tinggi selama ekspor Indonesia mengalami perlambatan saat ini.
Berikutnya, solusi jangka panjang adalah dengan diversifikasi ekspor. Saat ini, Andry mengatakan, perang dagang cenderung merugikan China. Akibatnya jika perekonomiannya melambat, imbas permintaan komoditas alam dari Indonesia juga akan berkurang.
Andry menekankan, pemerintah perlu mewaspadai tren tersebut. "Sebab, batu bara, CPO dan produk-produk tambang dan komoditas alam adalah penopang ekspor kita saat ini," tuturnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis Senin (15/7), Indonesia mengalami defisit 9,23 miliar dolar AS dengan China pada periode Januari hingga Juni 2019. Nilai tersebut lebih besar dibanding dengan periode yang sama pada tahun lalu, yakni 8,26 miliar dolar AS.
Penyebab pelebaran defisit tersebut adalah penurunan nilai ekspor Indonesia ke China. Pada periode Januari hingga Juni 2018, nilaiya adalah 12,31 miliar dolar AS, sedangkan periode yang sama pada tahun ini hanya 11,40 miliar dolar AS.
Kepala BPS Suhariyanto menyebutkan, penurunan ekspor disebabkan kinerja industri di China yang menurun. Bahkan, pertumbuhan ekonomi China melambat dari 6,8 persen pada kuartal pertama 2018 menjadi 6,4 persen pada kuartal pertama tahun ini. "Kalau ada perlambatan, pasti mempengaruhi permintaan (barang ke Indonesia)," tuturnya, beberapa waktu lalu.