Kamis 25 Jul 2019 07:11 WIB

Jumlah Lahan Puso Bertambah Ribuan Hektare

Lahan puso paling banyak terjadi di Pulau Jawa.

Red: Budi Raharjo
Petani berada di areal sawah miliknya yang kekeringan di Desa Pegagan, Kecamatan Terisi, Indramayu, Jawa Barat, Senin (15/7/2019).
Foto: Antara/Arnas Padda
Petani memilah bulir padi yang masih bisa dipanen di area persawahan Pattallassang yang terdampak kekeringan, Gowa, Sulawesi Selatan, Senin (22/7/2019).

Kondisi tanaman padi yang mengalami gagal panen menunjukkan semakin parahnya tingkat kekeringan. Pasalnya, berdasarkan data dari Dinas Pertanian setempat per 17 Juli 2019, tanaman padi yang puso baru mencapai 2.100 hektare. Sementara, lahan yang mengalami kekeringan berat, sedang, dan ringan sekitar 12 ribu hektare.

Takmid mengatakan, selain kondisi musim kemarau yang ekstrem, kekeringan pada lahan pertanian di Kabupaten Indramayu juga diperparah dengan banyaknya pintu air irigasi yang rusak. Akibatnya, air tidak bisa sampai hingga ke ujung layanan irigasi. Kerusakan itu, antara lain, terjadi pada BKHR 4A di pintu air Desa Wanguk, Kecamatan Anjatan, Kabupaten Indramayu, beberapa waktu yang lalu.

Proses perbaikan memakan waktu selama tiga pekan. Akibatnya, pasokan air untuk sejumlah kecamatan juga terhenti selama tiga pekan,

Meski kini sudah diperbaiki, dari tiga buah pintu air, hanya dua pintu yang bisa digunakan. Sementara, satu pintu lainnya belum bisa digunakan karena masih dalam tahap perbaikan. ''(Pintu yang digunakan) Itu pun debit airnya sangat terbatas, hanya dua sampai empat kubik sehingga air tidak sampai ke daerah-daerah yang ada di ujung,'' kata Takmid.

Produksi turun

Ketua Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa memprediksi penurunan produksi beras nasional pada tahun ini. Produksi turun karena mundurnya musim tanam semenjak tahun lalu. Alhasil, periode tanam saat ini bertepatan dengan musim kemarau.

"Musim tanam yang biasanya Oktober-November bergeser tahun lalu jadi November-Desember sehingga panen bergeser yang puncaknya Februari-Maret jadi Maret-April. Nah, karena pergeseran ini, menyebabkan musim panen kedua mundur ke sekitar Agustus, padahal itu puncak kemarau," ujar dia.

Dwi bahkan menyebut penurunan produksi bisa mencapai jutaan ton. Ia meminta pemerintah menyiapkan langkah penanganan atas penurunan produksi itu. "Di sisi lain, harga beras akan terus naik sehingga pemerintah perlu waspada sampai Maret 2020," kata Guru Besar ilmu Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) itu.

Menurut dia, penurunan produksi tak banyak dipengaruhi faktor iklim dan cuaca. Sebab, ia menambahkan, tak ada perubahan cuaca dan iklim yang signifikan tahun ini terhadap pertanian. "Bahkan, di 2015 pernah juga kemarau agak panjang plus el nino saat itu. Sebenarnya ini siklus biasa, tidak perlu disikapi berlebihan," ucapnya. n ita nina winarsih/lilis sri handayan/rizky suryarandika, ed: satria kartika yudha

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement