Keberadaan perusahaan rintisan (startup) yang didanai investor asing dinilai memperparah defisit perdagangan sekaligus transaksi berjalan Tanah Air, menurut lembaga Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dalam diskusi daring pada Minggu (4/8/2019).
Sebab menurut salah satu peneliti Indef, Bhima Yudhistira, startup khususnya e-commerce berkontribusi terhadap naiknya impor barang konsumsi. Data Asosiasi E-Commerce menunjukkan, kecenderungan 93% barang yang dijual di marketplace merupakan barang impor. Artinya, hanya ada 7% produk lokal di dalamnya.
Baca Juga: Mengoptimalkan Potensi E-Commerce di Indonesia
"Tahun 2018 impor barang konsumsi naik 22%, padahal konsumsi rumah tangga hanya tmbuh 5%. Ini anomali pertama," jelas Bhima lalu melanjutkan, "Pemerintah perlu samakan aturan barang impor di retailer konvensional dan online."
Pembatasan produk impor sebelumnya sudah diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor 112/PMK.04/2018 (PMK 112). Menurutnya, kebijakan tersebut memperkecil nominal ketentuan nilai bebas bea masuk dari US$100 menjadi US$75 per hari.
Peneliti yang juga ekonom itu melanjutkan, "Tapi aturan itu belum cukup. Porsi barang impor di e-commerce harus diatur, misalnya 70% harus menjual produk yang diproduksi lokal."
Tak hanya itu, ia juga menyarankan agar pemerintah mendorong pembentukan agregator untuk menyerap dan memfasilitasi produk UMKM yang akan dipasarkan ke marketplace. Agregator berfungsi sebagai logistik, pemantauan kualitas, dan memberi pendampingan.
Baca Juga: Internet Ubah Industri Kecantikan, E-Commerce Sumbang 10% Pendapatan
Pemerintah juga perlu memberdayakan UMKM di 75 ribu desa untuk memasarkan produknya secara daring, bahkan ekspor. Bhima memberi masukan agar dana desa yang berjumlah Rp70 triliun per tahun bisa digunakan untuk BUMdes yang mengadopsi Taobao Villages di China.