Jumat 06 Sep 2019 15:50 WIB

Pengamat: Pemerintah Belum Serius Bangun Industri Halal

Pembangunan industri halal ini ke depannya diproyeksi mampu memacu ekspor

Rep: Imas Damayanti/ Red: Friska Yolanda
Ilustrasi Wisata Halal. (Republika/Mardiah)
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi Wisata Halal. (Republika/Mardiah)

EKBIS.CO, JAKARTA -- Neraca perdagangan Indonesia dengan negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) pada 2018 membukukan defisit sebesar 1,87 miliar dolar AS. Defisit tersebut disebabkan oleh ekspor yang minim serta belum seriusnya perhatian pemerintah terhadap pembangunan industri halal nasional.

Pengamat Perdagangan Internasional dari Universitas Indonesia Fithra Faisal menyampaikan, melorotnya neraca perdagangan Indonesia ke negara-negara OKI sangat disayangkan di tengah terciptanya ikatan ideologis terhadap negara-negara tersebut. Menurut dia, determinasi atau penentu perdagangan dalam model ekonomi internasional harusnya lebih diuntungkan dengan terciptanya ikatan ideologis tersebut, hanya saja hal ini tak terealisasi dengan baik sebab pemerintah lalai dalam membangun industri halal dalam negeri.

“Kita punya ikatan ideologis, tapi sayangnya pemerintah kita belum serius membangun tingkat industri halalnya,” kata Fithra saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (6/9).

Di dalam negeri, dia menjabarkan, tingkat industri halal hanya sebatas kajian dan penerapan sertifikasi oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Padahal peluang pasar produk halal dinilai sangat besar namun harus diimbangi dengan kemampuan industri halal yang memadai. Pembangunan industri halal ini ke depannya diproyeksi mampu memacu ekspor produk halal Indonesia.

Sebagai catatan, berasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal disebutkan mengenai kewajiban sertifikasi produk halal. Beleid tersebut mulai berlaku pada 17 Oktober 2019 mendatang sambil menunggu aturan teknis yang masih digodok Kementerian Agama (Kemenag).

Berdasarkan catatan Kementerian Perdagangan (Kemendag), ekspor produk halal Indonesia ada 2018 ke negara-negara OKI tercatat sebesar 45 dolar AS atau 12,5 persen dari total perdagangan nasional sebesar 369 miliar dolar AS. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, ekspor produk halal Indonesia masih tertinggal jauh.

Menurut Fithra, ekspor produk halal Malaysia memang tengah menggeliat dengan menjalankan dua strategi agresif dalam perdagangan. Misalnya, pemerintah Malaysia kerap bergerak cepat dalam merespons perdagangan internasional dengan mengambil kebijakan yang tepat dan responsif. Sedangkan pemerintah Indonesia cenderung berbelit dan defensif serta kurang terkoneksi antara satu dengan kementerian teknis terkait.

“Contoh saja, Kemenlu (Kementerian Luar Negeri) ketika melakukan kerja sama dan diplomasi ke suatu negara, muatan data dan langkah ekonominya kurang lengkap. Sehingga harus kembali dulu dan merundingkan ulang dengan kementerian terkait, ini jadi lama sekali mengambil keputusannya,” kata Fithra.

Fithra mengimbau ke depannya pemerintah perlu mempertimbangkan peleburan antara Kemendag dengan Kemeterian Perindustria (Kemenperin) guna meningkatkan efektivitas pengambilan kebijakan. Di sisi lain, pemerintah juga perlu mempercepat kesepakatan kerja sama di luar ikatan OKI.

Hal itu karena OKI dinilai secara fungsi sangat lemah sebab masih diakses dengan keanggotaan negara-negara berkembang. Sehingga infrastruktur perdagangan masih belum merata di setiap negara. Untuk itu, kata dia, pemerintah perlu menciptakan sub-kerja sama yang paling memungkinkan di luar OKI untuk mengakselerasi ekspor dan menurunkan tarif masuk produk.

“Kalau di negara-negara maju kan infrastruktur perdagangannya sudah lengkap, sedangkan di OKI ini tantangannya ya adalah belum berkembang infrastrukturnya,” kata Fithra.

Belum berkembangnya infrastruktur tersebut menurut Fithra membuat catatan ekspor perdagangan produk Indonesia tak stabil. Padahal salah satu elemen penting dalam stabilitas neraca perdagangan salah satunya diisi dengan kekuatan ekspor.

Yuk gabung diskusi sepak bola di sini ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement