EKBIS.CO, JAKARTA -- Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas/PPN) menyatakan sektor pariwisata hingga kini menjadi salah satu penyumbang surplus pada neraca perdagangan jasa Indonesia. Namun, dari waktu ke waktu surplus neraca jasa pariwisata kian menipis.
Kepada Bappenas, Bambang Brodjonegoro, mengatakan, pemerintah berharap banyak pada sektor pariwisata agar mendorong ekonomi Indonesia naik kelas. Dari berpendapatan menengah ke bawah menjadi menengah di tahun 2020. Di tengah persaingan ekonomi global yang makin ketat, sektor pariwisata menjadi bagian penting.
Ia menjelaskan, Indonesia saat ini mengalami defisit transaksi berjalan atau current account defisit (CAD). Berdasarkan data Bank Indonesia, CAD pada kuartal II 2019 sebesar 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau senilai 8,4 miliar dolar AS. Laju CAD itu naik dari kuartal I 2019 sebesar 7 miliar dolar AS atau setara 2,6 persen dari PDB.
Defisit tersebut, disebabkan oleh defisit pada neraca pedagangan barang dan beberapa sektor jasa. Kendati demikian, khusus jasa perjalanan atau pariwisata, masih mengalami surplus. Hal itu menunjukkan bahwa pariwisata merupakan sektor yang mampu bertahan di tengah pelemahan ekonomi global.
Surplus menandakan wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia lebih besar daripada wisatawan nusantara yang keluar dari Indonesia. Kondisi itu membuat pemasukan devisa dari asing lebih besar dibanding devisa yang keluar.
Namun, kata Bambang, surplus neraca jasa pariwisata harus dilihat lebih jeli. Sebab, meski masih mencatatkan surplus, trennya terus menipis. "Jasa perjalanan saat ini surplus. Tapi, yang harus hati-hati surplusnya mulai menipis," kata Bambang dalam Rapat Koordinasi Nasional Pariwisata di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, Selasa (10/9).
Mengutip data Bank Indonesia, surplus neraca jasa perjalanan pada kuartal II 2019 sebesar 800 juta dolar AS. Surplus tersebut tercatat turun dibanding kuartal I 2019 yang sempat tembus 1,4 miliar dolar AS. Surplus necara kuartal I 2019 juga lebih kecil jika dibanding surplus pada kuartal II 2018 yang mencapai 1,3 miliar dolar AS.
Bambang mengatakan, menurunnya surplus neraca jasa perjalanan di satu sisi mencerminkan situasi yang baik. Sebab, itu menandakan semakin banyak masyarakat Indonesia yang melakukan perjalanan ke luar negeri. "Ini tentunya karena pendapatan ekonomi masyarakat makin baik. Pendapatan per kapitan membaik sehingga bisa melakukan perjalanan ke luar negeri," ujarnya.
Karenanya, kata Bambang, langkah yang ada saat ini bukan dengan mencegah masyarakat Indonesia bepergian ke luar negeri. Melainkan, mempercepat arus devisa yang masuk lewat wisatawan mancanegara. Hal itu menjadi tugas dari Kementerian Pariwisata yang bertugas melakukan pemasaran pariwisata nasional.
"Inilah yang teman-teman Kemenpar harus melihat. Tidak hanya menarik devisa, tapi menarik devisa lebih cepat dan tinggi dibanding orang-orang Indonesia yang pergi ke luar negeri," ujar dia.
Menteri Pariwisata, Arief Yahya, mengklaim pihaknya telah membaca situasi tersebut dan mengakui adanya pelemahan devisa. Karenanya, Kemenpar akan terus fokus pada strategi pemasaran yang efektif untuk menarik sebanyak-banyaknya turis asing.
Ia pun bersikukuh bahwa pada tahun ini pariwisata akan menjadi penyumbang devisa terbesar. Kemenpar menargetkan, devisa pariwisata 2019 akan tembus 20 miliar dolar AS, mengalahkan sektor batu bara dan kelapa sawit.