EKBIS.CO, INDRAMAYU -- Musim kemarau semestinya menjadi masa yang menggembirakan bagi para petani garam. Pasalnya, di musim itu mereka mulai memproduksi dan memanen garam di tambak. Dari situlah, mereka memperoleh penghasilan untuk menghidupi keluarga.
Namun, kondisinya berbeda pada musim kemarau tahun ini. Para petani garam kini justru gigit jari. Betapa tidak, stok garam mereka sisa panen 2018 lalu masih menumpuk.
Tumpukan itu kini semakin bertambah dengan datangnya musim kemarau 2019. Harga garam pun terjun bebas, tak sesuai dengan biaya produksi dan kerja keras mereka.
Hal itu seperti yang dirasakan oleh para petani garam di sentra tambak garam Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu. Salah satunya adalah Vindy Ferdiansyah (30 tahun).
Vindy mengatakan, garam hasil produksinya masih menumpuk di dalam gudang. Dia memiliki gudang berukuran 6x12 meter. Gudang itu berkapasitas 100 ton dan saat ini kondisinya sudah penuh dengan garam.
Vindy mengaku tak tahu pasti kapan seluruh garam itu bisa terjual. Pasalnya, saat ini harga garam masih rendah. Dia baru akan melepas simpanan garamnya jika harganya sudah mulai membaik.
"Saya tahan dulu supaya ruginya tidak terlalu besar," kata Vindy, saat ditemui di Kecamatan Krangkeng, akhir pekan kemarin.
Vindy menyebutkan, harga garam di tingkat petambak di daerahnya kini ada di kisaran Rp 270 sampai Rp 300 per kg. Dengan kondisi musim kemarau yang panas seperti sekarang, lahan tambak seluas dua hektare miliknya bisa menghasilkan panen garam senilai kurang lebih Rp 1,7 juta per pekan.
Berdasarkan kebiasaan yang berlaku, hasil tersebut kemudian dibagi dua antara petani pemilik lahan dengan petani penggarap.
Vindy merupakan petani pemilik lahan. Untuk musim garam tahun ini, dia bekerja sama dengan tiga orang petani penggarap. Dengan hasil seperti itu, maka tiga orang petani penggarapnya hanya memperoleh sekitar Rp 850 ribu. Itu berarti, setiap petani penggarap masing-masing hanya memperoleh sekitar Rp 300 ribu per minggu.
"Saya juga kasihan dengan petani penggarap di lahan saya. Penghasilan mereka bahkan lebih rendah dari upah kuli bangunan, yang kini besarannya rata-rata Rp 100 ribu sampai Rp 150 ribu per hari," terang Vindy.
Vindy menuturkan, dengan kondisi seperti ini, nasib petambak garam terutama petani penggarap sangat memprihatinkan. Hal itu berbeda saat musim garam dua tahun yang lalu. Saat itu, harga garam mencapai Rp 2.000 per kg.
"Saat itu susah mencari kuli bangunan di sini karena mereka ramai-ramai ke garam. Sedangkan sekarang, banyak yang jadi kuli bangunan (karena rendahnya penghasilan petani garam)," terang Vindy.