Rabu 25 Sep 2019 08:31 WIB

Di Xiamen University, Rokhmin Kupas Kerja Sama RI-Cina

Jalur Sutra Cina harus mendorong kemitraan dan kerja sama ekonomi.

Rep: Irwan Kelana/ Red: Agung Sasongko
Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MSc memberikan General Lecture di Xiamen University, China, Selasa (24/9).
Foto: Dok Rokhmin Dahuri
Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MSc memberikan General Lecture di Xiamen University, China, Selasa (24/9).

EKBIS.CO,   XIAMEN -- Pakar kelautan dan perikanan, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MSc diundang untuk memberikan General Lecture di Xiamen University, Cina, Selasa (24/9). Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan era Kabinet Gotong Royong itu menjadi pembicara inti acara dialog publik soal Jalur Sutra Cina atau Belt and Road Initiative (BRI).

Dalam kesempatan tersebut, Prof Rokhmin membawakan makalah berjudul “Enhancing a Synergy Between China’s Belt and Road Initiative and Indonesia’s Global Maritime Fulcrum for Mutual Benefits of Two Nations and for A Peaceful, Prosperous, and Sustainable World”.

Guru Besar Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB itu mengemukakan, jarak China (Beijing)-Indonesia (Jakarta) 4.198 km (2.609 mil).  Hubungan China-Indonesia telah berlangsung sangat lama, yakni sekitar abad ke-7. Hal itu ditandai dengan kedatangan Laksamana Cheng Ho  yang  namanya sangat dikenal  dan berkesan bagi masyarakat Indonesia.

Indonesia menjadi bagian dari Jalur Sutra Maritim yang menghubungkan China dengan India dan dunia Arab.”Banyak keramik China di Indonesia yang menunjukkan adanya hubungan perdagangan kedua Negara. Museum Nasional Indonesia mempuyai koleksi sangat lengkap keramik China,” paparnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Selasa (24/9).

Rokhmin mengungkapkan, hubungan antara China dan Indonesia, baik sektor pemerintahan, swasta maupun masyarakat meningkat sejak tahun 1990-an, terlebih lagi  saat pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yang kemudian dilanjutkan oleh Megawati.

Perdagangan antara China dan Indonesia juga terus meningkat, terutama sejak diberlakukannya ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) sejak Januari 2010. “Pada tahun 2003, perdagangan antara Indonesia dan China mencapai 3,8 miliar dolar AS. Pada tahun 2010, jumlahnya naik menjadi 10 kali lipat, yakni 36,1 miliar dolar AS,” tuturnya.

Pada tahun 2014, China menjadi investor nomor empat terbesar yang berinvestasi di Indoneia melalui Foreign Direct Investor (FDI). “Tahun lalu  China naik ke posisi tiga terbesar,” ujar ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI)

Ia lalu menyebutkan lima mega proyek hasil investasi China di Indonesia. Mega proyek itu adalah Jembatan Suramadu (jembatan terpanjang di Asia Tenggara yang menghubungkan Pulau Jawa dan Madura); Bendungan Jatigede di Sumedang (Jawa Barat), ¼ kapasitas energy nasional, industri kelapa sawit , dan kawasan pengolahan stainless di Morowali.

“Pemerintah Indonesia menyiapkan sejumlah proyek infrastruktur senilai 201,6 miliar dolar AS (sekitar Rp 2.700 triliun) kepada investor China. Proyek-proyek tersebut tersebar  di Sumatera Utara, Kalimantan utara, dan Sulawesi Utara,” paparnya.

Terkait Jalur Sutra China, Rokhmin menegaskan,  tujuan awal Jalur Sutra China adalah  demi misi perdamaian, dan kehidupan dunia yang lebih baik melalui kemitraan dan kerja sama ekonomi.

“Ketika mengunjungi Kazakhstan dan Indonesia pada bulan September dan Oktober 2013, Presiden Tiongkok Xi Jinping menyatakan inisiatif untuk bersama-sama mengembangkan Jalur Ekonomi Jalur Sutra dan Jalur Sutra Maritim Abad 21,” ujarnya.

Ia mengemukakan,  Jalur Sutra yang digagas adalah untuk membangun model baru hubungan internasional yang menampilkan rasa saling menghormati, keadilan, dan kerja sama mengedepankan kemitraan melalui dialog dan persahabatan daripada konfrontasi.

Ia menjelaskan, kehadiran Jalur Sutra China untuk mempromosikan sinergi di antara strategi pembangunan berbagai negara, memanfaatkan potensi pasar di kawasan ini, mempromosikan investasi dan konsumsi, menciptakan permintaan dan pekerjaan, dan meningkatkan pertukaran antar masyarakat dan saling belajar di antara peradaban.

“Semua itu dalam rangka upaya untuk memelihara pemahaman dan saling menghormati di antara orang-orang dari berbagai negara dan berbagi kehidupan yang harmonis, damai dan sejahtera di dunia,” paparnya.

Rokhmin menegaskan, meski digagas oleh China,  Jalur Sutera menjadi kepentingan dunia yang berakar dari sejarah namun berorientasi pada masa depan yang lebih baik tidak hanya berfokus pada Asia, Eropa, dan Afrika, tetapi terbuka untuk semua mitra. Ini mencakup berbagai negara dan wilayah, budaya dan agama yang berbeda, dan berbagai kebiasaan dan gaya hidup.

“Jalur Sutera adalah inisiatif untuk pembangunan damai dan kerja sama ekonomi, daripada aliansi geopolitik atau militer,” ujarnya.

Bagaimana dengan Indonesia?

Rokhmin mengemukakan, pada tahun 2014, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meluncurkan visi GMF (Global Maritime Fulcrum) yang sangat terkait dengan konsep, tujuan, dan area BRI. GMF Indonesia fokus pada pengembangan dan perlindungan wilayah laut dan sumber daya negara untuk kemajuan, kemakmuran, dan kedaulatannya.

Dengan kata lain, kata Rokhmin, ini adalah visi dan program pembangunan kelautan yang berwawasan ke dalam. “BRI China adalah visi pembangunan yang lebih berwawasan ke luar,” ungkapnya.

Ia menambahkan, “Presiden Jokowi dan Presiden Xi Jinping mencapai konsensus penting dalam mempromosikan sinergi antara GMF dan BRI untuk kepentingan rakyat kedua negara.” 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement