EKBIS.CO, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Tertinggal (Ditjen PDT) Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) gelar diskusi terbuka tentang pengembangan pariwisata perdesaan di daerah tertinggal, pada Selasa (24/9), di Oria Hotel, Jakarta.
Turut hadir dalam diskusi ini dari perwakilian Bappenas/Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan unit-unit kerja internal Kemendes PDTT. Selain itu, terdapat pula beberapa mitra pembangunan yakni Indonesia Ecotourism Network (Indecon), Caventer Indonesia, dan Goers.
Tujuan dari diskusi terbuka ini untuk menggali pengalaman, saling bertukar pikiran, dan saling memberi masukan antar berbagai pelaku pariwisata. Informasi yang diperoleh akan dielaborasikan dan disusun menjadi sebuah guidance (panduan) bagi Ditjen PDT Kemendes PDTT maupun instansi lainnya dalam mengembangkan pariwisata perdesaan di daerah tertinggal.
"Tema dalam diskusi ini guna merumuskan konsep yang acceptable dan dapat digunakan sebagai guidance (panduan) dalam menggali potensi pariwisata perdesaan di Daerah Tertinggal," kata Direktur Perencanaan dan Identifikasi Daerah Tertinggal Ditjen PDT Kemendes PDTT, Rafdinal saat memberikan sambutan dalam diskusi terbuka ini.
Rafdinal menyebutkan bahwa ada beberapa konsep pengembangan pariwisata yang sesuai untuk diimplementasikan di Daerah Tertinggal di masa yang akan datang.
"Konsep itu diantaranya adalah sustainable tourism atau pariwisata berkelanjutan yang bisa membuat wisatawan akan berusaha memberikan dampak positif terhadap lingkungan, masyarakat dan ekonomi saat melakukan kunjungan ke suatu tempat. Lalu konsep wisata gastronomi sebagai wisata mengenai hubungan antara
budaya dan makanan. Serta konsep lainnya seperti ecotourism dan desa wisata,"katanya.
Sementara itu, dari hasil diskusi terdapat beberapa catatan penting untuk ditindak lanjuti. Diantaranya yakni terkait segmen pasar yang perlu ditentukan di tahap awal sebelum dilakukan fase pengembangan. Lalu terkait kualitas Sumber Daya Manusia dan Kelembagaan pariwisata adalah fokus utama ketika memulai mengembangkan wisata di daerah perdesaan.
Kemudian pengembangan desa wisata yang tidak cukup hanya dilakukan selama 1 tahun sehingga perlu multiyears (3 tahun, 5 tahun, atau 10 tahun sesuai kebutuhan) untuk dapat menciptakan sebuah desa wisata yang berkelanjutan.
Catatan lainnya diantaranya yakni peran pendamping lokal dalam mendampingi dan memberdayakan masyarakat sangat dibutuhkan untuk mengawal implementasi kebijakan dalam rangka pengembangan wisata perdesaan. Lalu, digitalisasi merupakan tools untuk mempercepat pengembangan wisata, namun diperlukan ketersediaan listrik, jaringan internet, dan kapasitas operator yang sesuai dengan kebutuhan.
"Sejumlah catatan penting dalam diskusi ini perlu ditindaklanjuti. Kami berharap dari diselenggarakannya acara ini dapat terjalin kerjasama dan kolaborasi yang baik antara berbagai pihak untuk mengembangan berbagai pilot project wisata perdesaan di daerah tertinggal," katanya.