EKBIS.CO, JAKARTA -- Laporan terbaru Wood Mackenzie menunjukan bahwa pasar batu bara hingga 2027 mendatang masih menjadi sumber bahan bakar dominan untuk pembangkit listrik. Tercatat, batu bara menyumbang 36 persen dari bauran energi di wilayah Asia Tenggara.
Wood Mackenzie mencatat, total permintaan daya di Asia Tenggara berpotensi akan berlipat ganda dari 1,05 petawatt per jam (PwH) menjadi 2,46 PwH. Untuk memenuhi permintaan daya yang meningkat pesat, Asia Tenggara harus menginvestasikan rata-rata 17 miliar dolar AS per tahun.
“Narasi seputar batubara telah menjadi pesimistis di seluruh dunia. Ini akan menghasilkan perlambatan bertahap kapasitas batu bara baru di Asia Tenggara. Namun, kenyataan meningkatnya permintaan listrik dan masalah keterjangkauan di wilayah ini berarti bahwa kami hanya akan mulai melihat penurunan daya batubara pasca 2030,” kata Research Associate Wood Mackenzie, Jacqueline Tao, melalui laporannya, Rabu (25/9).
Batu bara tambahan akan menurun seiring waktu seiring dengan menurunnya biaya energi terbarukan dan tekanan terhadap lingkungan. Pada tahun 2040, pembangkit listrik tenaga surya dan angin akan memimpin dalam campuran kapasitas daya di wilayah ini sebesar 35 persen atau 205 gigawatt (GW).
“Secara kolektif, investasi dalam pasokan tenaga angin dan matahari mencapai 23 persen dari total investasi daya, berjumlah lebih dari 89 miliar dolar AS dari tahun 2019 hingga 2040. Hal ini terjadi walaupun energi terbarukan menjadi kurang kompetitif di wilayah ini dibandingkan dengan negara lain di dunia, dan tantangan seperti masalah pembebasan lahan dan intermittency,” tambah Tao.
Sementara permintaan gas terus tumbuh, prospek pasokan gas di wilayah ini sebagian besar masih terhambat karena banyak ladang yang sudah matang mengalami penurunan. Paruh pertama tahun 2019 melihat tiga penemuan gas besar di wilayah ini, yang dapat mengarah pada kebangkitan kembali minat eksplorasi dan pengeluaran CAPEX di wilayah tersebut. Namun, tidak mungkin untuk menahan penurunan dari bidang yang sudah matang.
Negara-negara Asia Tenggara diperkirakan akan mengimpor lebih dari 100 juta ton per tahun (mmtpa) LNG pada tahun 2036. Ini mewakili peningkatan hampir 10 kali lipat dari impor 10-mmtpa pada tahun 2018. Diperlukan investasi besar dalam infrastruktur regasifikasi untuk memungkinkan hal ini volume LNG untuk memasuki pasar Asia Tenggara.