EKBIS.CO, JAKARTA -- Sistem teknologi Blockchain sedang marak dibicarakan di tahun ini. Beberapa negara sudah mulai memanfaatkan teknologi ini. Dalam waktu tujuh tahun, sistem ini mendunia. Padahal, sistem ini sudah ada sejak 2008. Lalu, apa itu blockchain?
Blockchain mirip seperti buku kas di bank yang mencatat transaksi. Namun, transaksi melalui blockchain dapat dilihat oleh semua pengguna. Berbeda dengan transaksi di bank yang hanya dapat diakses oleh pihak berwenang.
Sistem teknologi ini pertama kali digunakan pada Bitcoin oleh Satoshu Nakamoto pada 2008. Konsep ini mengambil konsep cryptographically yang dibuat oleh Stuart Haber dan W Scott Stornetta.
Hal ini memungkinkan transaksi antara A dan B terjadi tanpa perantara. Dalam waktu singkat, murah dan aman, teknologi ini dapat lebih baik dibandingkan bank atau institusi lain. Bahkan, dapat diakses oleh siapa saja. Ini mengubah pendekatan yang sentralistik menjadi terdesentralisasi lewat sistem tersebut.
Seperti dalam siaran pers Amartha, blockchain layaknya sebuah Google Document, yang dapat melihat dan menambahkan dokumen. Namun tak bisa mengubah informasi tersebut. Mereka menggunakan hitung-hitungan matematika bernama kriptografi. Dengan kriptografi, orang lain tidak dapat mengubah maupun meniru rekaman tersebut.
Bisa dicontohkan seperti sebuah kelompok, dari 10 orang itu mendelegasikan kepada satu orang untuk menjadi bendahara. Dia yang bertugas mencatat pembayaran di kelompok tersebut. Kepercayaan hanya diberikan kepada satu orang saja. Berbeda dengan blockchain, dari 10 orang itu didaulat sekitar lima orang untuk mencatat pembayaran di kelompok tersebut. Ini akan lebih efisien, aman dan transparan. Ini karena, ada lima orang yang terlibat dalam pencatatan pembayaran itu. Jika dilakukan dalam institusi, maka transaksi pembayaran akan lebih aman dan jauh dari tindak korupsi.
Soal keamanan, sistem ini menjamin keamanan pengguna. Misalnya, seperti dikutip Tom Chitty dari CNBC, seorang petani kehilangan sertifikat tanah akibat musibah banjir di rumahnya. Semua data hilang begitu saja. Jika sertifikat itu disimpan di bank atau instansi lainnya, tetap tidak ada bukti konkret atas kepemilikan tanah itu. Hal ini tentu membuat petani akan diusir dari tanah itu. Namun, jika dia menggunakan blockchain, maka tidak akan terjadi hal tersebut. Sebab, sertifikat tanah telah disimpan dengan aman di sistem tersebut.
Selain Bitcoin, beberapa bank di Inggris, Kanada, Singapura dan Malaysia juga sudah mengunakan teknologi ini untuk menghemat waktu biaya operasional. Teknologi ini tidak hanya dipakai dalam industri keuangan saja, tetapi juga pemasaran, kesehatan hingga pemerintahan.
Beberapa negara sudah mulai menggunakan sistem itu seperti Estonia yang digunakan di rumah sakit untuk rekam medis pasien. Bahkan, negara itu akan menggunakannya untuk pemilihan umum. Di Amerika Serikat, beberapa perusahaan juga menggunakannya untuk membantu operasional korporasi. Di Uni Emirat Arab, pemerintahan daerah Dubai akan menggunakannya untuk pemerintahan pada 2020. Begitu juga dengan Cina, mereka menggunakan sistem ini untuk menyelesaikan keamanan pangan.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Bank Indonesia sedang mengkaji sistem Blockchain. Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengaku akan terus mendorong pemanfaatan teknologi ini untuk sektor keuangan. Baginya, teknologi muktahir merupakan hal yang positif bagi kemajuan BI.
“Kami akan lakukan pengkajian pemanfaatan blockchain ini,” kata Agus.
Sementara di dalam dunia fintech, sistem ini juga bukan tidak mungkin diadaptasi. Di Eropa, kini telah dikenal istilah peer-to-peer (P2P) crypto lending. Ini merupakan alternatif lain dalam P2P lending yang telah kita kenal sekarang.
Krypto merupakan mata uang digital yang kini mulai dikenal seantero dunia. Beberapa tahun ini, industri krypto mulai berkembang seperti Bitcoin.
Benefit yang didapat dalam menggunakan krypto yakni borrowers (penerima dana) tanpa akun bank atau credit history dapat menerima pendanaan. Suatu hal yang tak akan mungkin terjadi dalam sistem bank tradisional. Blockchain dalam platform P2P lending dapat memberikan pendanaan kepada klien yang sebelumnya tidak dapat berpartisipasi dalam ekonomi.
Hal ini membuat konsep P2P krypto lending terdengar sangat menjanjikan. Apalagi dengan angka masyarakat unbankable di Indonesia yang masih sangat tinggi. Menurut, laporan Bank Dunia dalam Global Findex daridari 241 juta penduduk Indonesia, hanya sekitar 60 juta orang yang memiliki rekening bank.
Penggunaan teknologi seperti blockchain akan membuat pemberi dana, penerima dana dan penyimpanan uang lebih sederhana, transparan dan efisien. Artinya, partisipasi masyarakat dalam ekonomi bisa semakin ditingkatkan. Selangkah lebih dekat dengan Inklusi Ekonomi dengan Blockchain?
Lalu bagaimana dengan perusahaan fintech peer to peer lending Amartha? Apakah Amartha akan menggunakan Blockchain? Mungkin saja terjadi. Ini karena, Amartha terus berusaha mengembangkan teknologi keuangan untuk para pelaku usaha mikro perempuan di pedesaan.