Sabtu 28 Sep 2019 05:15 WIB

Pemda Nilai Omnibus Law Rumitkan Investasi Masuk

Ada 74 UU yang dianggap menghambat investasi.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nidia Zuraya
Investasi (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Widodo S. Jusuf
Investasi (ilustrasi)

EKBIS.CO, JAKARTA -- Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) menilai, rencana pemerintah yang merancang undang-undang berskema omnibus law terhadap 74 UU yang dinilai dapat menambah kerumitan berinvestasi. Keterlibatan pemerintah daerah (pemda) dalam menggaet investasi daerah masih dinilai perlu.

Sekretaris Jenderal Apkasi Najmul Akhyar menjabarkan, skema omnibus law justru mematikan peran otonomi daerah. Menurutnya dengan adanya otonomi daerah yang berlaku saat ini justru merupakan semangat reformasi yang bisa mendulang dan menyegarkan iklim investasi.

Baca Juga

"Omnibus law itu kurang tepat, harusnya daerah juga dilibatkan agar investasi ini sesuai dengan yang diharapkan pemerintah pusat," kata Najmul saat dihubungi Republika, Jumat (27/9).

Seperti diketahui, omnibus law sendiri merupakan rancangan undang-undang (RUU) yang berisi kompilasi berbagai UU sekaligus yang mengatur lebih dari satu subjek hukum. Sederhananya, 74 UU yang dianggap menghambat investasi akan disederhanakan dalam satu wujud UU baru.

Salah satu poin penting yang akan direvisi nanti adalah pergeseran kewenangan penerbitan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) oleh presiden langsung. Sebelumnya, NSPK diterbitkan oleh kementerian dan lembaga nonpemerintah selevel kementerian dan dijadikan sebagai acuan bagi pemerintah daerah (pemda) dalam menyusun peraturan daerah (perda).

Selama ini, kata dia, dengan adanya peran pemda, iklim investasi sudah sesuai dengan yang diharapkan pemerintah. Dia khawatir, apabila omnibus law terealisasi maka akan terjadi penumpukan permintaan izin yang bertumpuk di pusat.

Verifikasi dan pendataan yang bertumpuk berkaitan dengan investasi di pusat, kata dia, bakal menyulitkan daerah juga. "Ujung-ujungnya capaian investasi tak maksimal nanti," kata dia.

Dia berpendapat, keputusan kebijakan investasi di level daerah juga dibutuhkan guna menyesuaikan apa yang dibutuhkan daerah dengan tujuan investasi yang akan dilakukan. Untuk itu dia meminta kepada pemerintah agar mengkaji ulang rencana tersebut secara komprehensif.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Peraturan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menyatakan, omnibus law yang bertujuan mendatangkan investasi daerah tak sama sekali menghilangkan kewenangan otonomi daerah. Menurut dia, dengan penyederhanaan tersebut justru investasi dapat tepat sasaran dan lebih cepat.

"Ini bisa lebih efisien sebetulnya, karena nanti perizinan hanya dipegang satu pintu," kata Robert.

Robert berpendapat, sejauh ini sudah ada omnibus law di bidang lainnya seperti retribusi perpajakan yang hingga kini membuktikan peran otonomi daerah tak terpangkas. Menurut dia, omnibus law justru berperan menyederhanakan regulasi yang berserakan di tiap-tiap daerah agar mampu menghasilkan efisiensi waktu yang terintegrasi dan terpusat di pemerintahan pusat.

Kendati demikian dia menambahkan, apabila pemerintah berkomitmen untul merancang omnibus law untuk menyasar pemasukan investasi yang lebih gencar lagi, daerah perlu diajak untum berdiskusi dan berdialog lebih jauh. Hal itu agar kebijakan tersebut nantinya dapat mengakomodasi kepentingan daerah yang berelasi juga dengan kepentingan pemerintah pusat.

"Sejauh proses yang melibatkan daerah, omnibus law ini tidak memberatkan," pungkasnya.

Sebagai catatan, pada 2016 lalu, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) merilis untuk menghapus 3.000 peraturan daerah (perda) yang dianggap menghambat investasi. Namun Mahkamah Konstitusi sudah membatalkan kewenangan itu  setelah dimohonkan Apkasi.

Rencananya, konsep dari omnibus law ini akan rampung sebelum pergantian gerbong pemerintah pada Oktober 2019 mendatang. Kemudian, pembahasan rancangan UU baru ini akan dilakukan melalui pemerintah dan anggota parlemen yang baru.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement