Ahad 29 Sep 2019 13:54 WIB

Jastip Masih Jadi Pilihan Konsumen Belanja Produk Impor

Bagi konsumen jastip menjadi solusi untuk menghemat biaya pengiriman produk impor

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Fenomena bisnis jasa titip (jastip).
Foto: Tim Infografis Republika.co.id
Fenomena bisnis jasa titip (jastip).

EKBIS.CO, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bakal memperketat peredaran barang impor yang dibeli lewat jasa titipan atau jastip. Keberadaan jastip dianggap sudah mengkhawatirkan dan dapat merugikan negara.

Namun, disisi lain, sejumlah konsumen mengaku jastip saat ini telah menjadi solusi untuk menghemat biaya pengiriman ekspedisi dari luar negeri. Berbagai produk yang dibeli pun belum atau bahkan tidak ada di Indonesia.

Baca Juga

Salah satu konsumen yang pernah menggunakan jastip, Niken (24 tahun) mengatakan, dirinya pernah membeli makanan dan souvenir dari Turki yang memang tidak ada di Indonesia. Penyedia jastip yang ia gunakan juga sekaligus kerabat yang tengah bepergian ke luar negeri.

"Ongkir (ongkos kirim) lewat jastip lebih murah ketimbang pakai jasa ekspedisi resmi," kata Niken kepada Republika.co.id, Ahad (29/9).

Ia mengaku, ongkos kirim yang dibebankan kepada dirinya berkisar Rp 50 ribu - 200 ribu per kilogram (kg). Besaran nilai ongkos kirim bergantung pada ongkos bagasi pesawat per penumpang. Semakin banyak titipan dari banyak orang, semakin besar pula ongkos bagasi dan berdampak pada ongkos kirim bagi konsumen.

photo
Pajak jasa titipan (jastip).

Kebijakan pemerintah yang bakal lebih intens mengawasi jastip, bagi Niken tidak masalah. Sekalipun dikenakan pajak, ia tak keberatan. Hanya saja, kebijakan perpajakan mestinya disesuaikan dan tidak disamakan seperti produk-produk lainnya karena sifatnya yang khusus. "Pajak tidak apa-apa, tapi jangan banyak-banyak," ujarnya.

Sementara itu, Agustini Rahayu (25) menuturkan, sebagai warga negara yang patuh, segala aturan yang ditetapkan pemerintah harus diindahkan. Namun, ia mengaku kecewa jika nantinya pemerintah membuat harga barang lewat jastip jadi jauh lebih mahal dengan berbagai kebijakannya.

Agustini mengikuti jastip karena harga barang bisa jadi lebih murah. Senada dengan Niken, ia mengaku menggunakan jastip karena barang yang diinginkan belum tersedia di dalam negeri. Karenanya, keberadaan jastip saat ini cukup membantu konsumen dalam membeli barang-barang yang diinginkan dengan harga yang lebih terjangkau.

"Seandainya barang jastip kena pajak yang tinggi dan ujung-ujungnya mahal sama saja bohong. Ciri khas jastip akan hilang dan bisa saja usaha ini bisa mati," katanya.

Konsumen lainnya, Shafry Yusuf (21) mengatakan, beberapa kali menggunakan jastip untuk membeli alat musik gitar dan bass. Ia memilih pembelian dari luar negeri karena ada preferensi produk tersendiri yang dicari.  Belanja barang lewat jastip dianggap cukup menguntungkan karena meringankan ongkos kirim.

Ia pun mengaku kerap mendapatkan bonus-bonus karena produk dibeli secara langsung oleh penyedia jastip. Namun, dari beberapa kali transaksi, Shafry lebih sering menggunakan jastip dari penyedia yang secara mendadak ingin ke luar negeri dan menawarkan titipan barang.

"Memang ada kenalan, karena saya masuk komunitas musik dan kalau ada member yang akan ke luar negeri, biasanya menawarkan jastip," ujarnya.

Senada dengan Agustini, Shafry tak berkebarat dengan pengenaan pajak atas barang impor yang dibeli lewat jastip. Selama, ditujukan untuk hal yang positif dan rasional. Namun, Shafry yang masih duduk di bangku kuliah ini meminta, pajak yang diambil dari barang-barang jastip dikelola secara tepat.

Lebih-lebih, jika ke depan pemerintah bisa membuat aturan untuk jaminan keamanan produk jastip. Ia berpendapat ketegasan pemerintah dalam membuat aturan jastip secara langsung bisa menekan keberadaan penyedia jastip nakal yang menipu konsumen.

Penertiban jastip mulai mencuat sejak bulan Mei lalu. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan menyatakan bahwa barang yang dibeli lewat jastip harus membayar kewajiban pajak dan bea masuk. Barang-barang yang masuk juga harus memiliki dokumen resmi, termasuk orang yang membuka jastip.

Direktur Jenderan Bea dan Cukai, Heru Pambudi, mengatakan, impor barang lewat jastip sementara ini diatur dalam aturan Pemberitahuan Impor Barang Khusus (PIBK). Aturan itu menyasar barang-barang yang diimpor bukan dengan kontainer.

Soal perpajakan, Heru mengatakan, barang impor dari jastip terdiri dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen, Pajak Penghasilan (PPh) 10 persen, serta Bea Masuk 7,5 persen. Secara rata-rata, total perpajakan dari satu produk barang yang dibeli melalui jastip sebesar 25-27 persen.

Artinya, jika produk yang dibeli seharga Rp 1 juta, maka besaran perpajakannya berkisar Rp 250-270 ribu per produk. Besaran kewajiban itu, belum termasuk ongkos kirim yang ditetapkan oleh masing-masing penyedia jastip.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement