EKBIS.CO, JAKARTA -- Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan penurunan harga minyak telah memberikan tekanan terhadap penerimaan pajak. Terutama pajak penghasilan (PPh) dari sektor migas.
"Tekanan pada harga minyak berdampak pada kinerja PPh migas," ujar Suryo dalam jumpa pers perkembangan APBN di Jakarta, Senin (18/11).
Suryo mengatakan penurunan harga minyak tersebut telah menyebabkan realisasi penerimaan PPh migas tumbuh negatif 9,3 persen hingga akhir Oktober 2019. Rata-rata asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) hingga Oktober 2019 sebesar 63,1 dolar AS per barel atau di bawah asumsi 70 dolar AS per barel.
Kondisi ini, tambah dia, menyebabkan realisasi PPh migas baru mencapai Rp 49,3 triliun atau 74,5 persen dari target APBN sebesar Rp 66,2 triliun.
Hal serupa juga terjadi pada pajak nonmigas yang hanya tumbuh 0,8 persen dibandingkan periode sama 2018, karena penurunan kinerja sektor pertambangan dan industri pengolahan. Dalam periode ini, penerimaan pajak nonmigas tercatat baru mencapai Rp 969,2 triliun atau sekitar 64,1 persen dari target Rp 1.511,4 triliun.
Sebagian besar penerimaan pajak nonmigas berasal dari PPh Rp 556,6 triliun atau 67,2 persen dari target Rp 828,3 triliun dan pajak pertambahan nilai (PPN) Rp 388 triliun atau 59,2 persen dari target Rp 655,4 triliun.
"PPh nonmigas kita masih tumbuh 3,3 persen, tapi dibandingkan tahun lalu tumbuh 17 persen, mengalami kontraksi cukup lumayan," ujar Suryo.
Dari pajak nonmigas ini, penerimaan PPh Pasal 21, PPh Orang Pribadi dan PPh Final masih bisa tumbuh positif masing-masing sebesar 9,8 persen, 16,3 persen dan 6,4 persen. Sedangkan, penerimaan pajak dari sisi impor seperti PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 26 dan PPN Impor tumbuh negatif masing-masing 0,9 persen, 4,9 persen dan 7,3 persen.