EKBIS.CO, JAKARTA -- Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai, rendahnya industri manufaktur di Tanah Air pada tahun lalu, cenderung disebabkan oleh tingginya biaya tenaga kerja. Maka perlu kebijakan yang dapat mendorong manufaktur.
Ketua Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan, kebijakan Omnibus Law bisa menyelesaikan masalah yang menghambat sektor manufaktur. "Kalau Omnibus Law bisa goal, Undang-Undang (UU) Cipta Lapangan Kerja bisa membuat regulasi ketenagakerjaan lebih realistis," ujarnya kepada Republika.co.id, Jumat (3/1).
Dengan begitu, lanjutnya, berimbas positif terhadap manufaktur. Terutama industri padat karya.
Hanya saja perbaikan tersebut, kata dia, kemungkinan baru terasa pada semester dua 2020. "Jadi masih sangat besar kemungkinan membaik, karena pengaruh Omnibus Law, betul-betul akan membalik (keadaan)," jelas Hariyadi.
Dari sisi global, menurut dia, potensi pertumbuhan manufaktur Indonesia pun sangar besar. Pasalnya beberapa negara yang manufakturnya maju seperti Vietnam Thailand, dan Bangladesh sudah berada di titik jenuh, karena pertumbuhan maksimalnya telah diraih.
"Vietnam misalnya, itu sebetulnya juga sudah jenuh, sehingga mereka (investor) harus cari tempat baru. Nah potensi atau posisinya Indonesia ini besar sekali," kata Hariyadi.
Sayangnya, ujar dia, regulasi di Tanah Air belum kondusif. Contohnya pada industri padat karya, antara kebijakan upah minimum dengan produktivitas, tidak sebanding.
"Upah tinggi tapi output nggak se-produktif Vietnam," tegasnya. Sebelumnya, IHS Markit melaporkan, Purchasing Manager's Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada Desember 2019 naik menjadi 49,5. Pada bulan sebelumnya berada di posisi 48,2.
Hanya saja data Desember tersebut mengantarkan rata-rata PMI kuartal keempat ke posisi 48,5. Ini menunjukkan kuartal terlemah sejak 2015. "Tapi kalau semakin banyak manufaktur yang tumbuh, otomatis indeksnya juga naik," tutur Hariyadi.