EKBIS.CO, JAKARTA -- Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) mencatat, pertumbuhan realisasi penerimaan pajak pada 2019 yang sebesar 1,4 persen merupakan pertumbuhan terendah pasca Global Financial Crisis (GFC) 2009 menghantam ekonomi dunia. Kondisi ini disebabkan berbagai faktor, baik dari internal ataupun eskternal, yang menyebabkan beratnya tantangan pemungutan pajak.
Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo menuturkan, ada lima faktor penyebab. Pertama, kinerja penerimaan pajak Indonesia yang masih sangat bergantung pada kondisi perekonomian, terutama harga komoditas.
"Turunnya harga komoditas di tahun 2019 menekan kinerja penerimaan pajak terutama dari sektor perkebunan, migas dan pertambangan," ujarnya ketika dikonfirmasi Republika.co.id, Rabu (8/1).
Yustinus mengatakan, isu tersebut merupakan permasalahan struktural yang tidak dapat diperbaiki dalam jangka pendek. Dibutuhkan komitmen lintas sektoral untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap komoditas.
Selain itu, Yustinus menambahkan, dari data makroekonomi, dapat terlihat bahwa sektor perdagangan internasional juga menurun. Penurunan ini secara langsung berdampak pada penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Impor. Tak ayal, kinerja penerimaan PPN juga tertekan dengan realisasi yang hanya 81,3 persen.
Faktor ketiga, insentif pajak yang terbilang banyak digelontorkan. Di antaranya, pemberian tax holiday, tax allowance, kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), kenaikan threshold hunian mewah, dan restitusi dipercepat.
Yustinus mengatakan, pemanfaatan data dan informasi yang belum optimal juga menjadi faktor penyebab perlambatan pertumbuhan penerimana pajak. Terakhir, tahun politik yang memaksa dilakukannya moratorium tindak lanjut data/informasi dan tertundanya pemungutan pajak beberapa sektor. "Misalnya saja, pajak perdagangan elektronik atau e-commerce," katanya.
Yustinus mengatakan, rendahnya pertumbuhan inilah yang menjelaskan rendahnya realisasi target penerimaan pajak dan perlu dikenali lebih detail penyebabnya. Dengan kata lain, rendahnya realisasi terhadap target terjadi bukan karena pemerintah telah mengesampingkan prinsip prudence dalam penyusunan APBN, melainkan karena hal lain.
Dari catatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), penerimaan pajak sepanjang 2019 mencapai Rp 1.332,1 triliun atau 84,4 persen dari target di Undang-Undang APBN 2019, yaitu Rp 1.577,6 triliun. Artinya, terjadi kekurangan (shortfall) sebesar Rp 245 triliun.
Persentase penerimaan pajak tersebut mengalami penurunan dibandingkan 2018. Saat itu, pendapatan negara dari penerimaan pajak yang sudah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyentuh Rp 1.313 triliun atau 92,2 persen dari target semula, Rp 1.424 triliun.
Meski mengalami perlambatan, Menteri Keuangan Sri Mulyani tetap mengapresiasi pertumbuhan penerimaan pajak 2019. "Kita tetap dapat tumbuh 1,43 persen di tengah tekanan perlambatan ekonomi," ujarnya dalam konferensi pers pemaparan kinerja APBN 2019 di kantornya, Jakarta, Selasa (7/1).