EKBIS.CO, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memutuskan untuk menetapkan batas modal inti minimum bank sebesar Rp 3 triliun mulai tahun 2020 mendatang. Lembaga riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, kebijakan tersebut dapat membantu penguatan konsolidasi bank di tengah tantangan bisnis perbankan yang kiat ketat.
Ekonom Senior Indef, Aviliani mengatakan, sebetulnya, regulator telah meminta berkonsolidasi antar bank sejak tahun 2004 karena saat itu banyak yang bermasalah. Namun, hal itu tidak terjadi, sementara permintaan untuk melakukan merger atau penggabungan maupun akuisis bank besar terhadap bank kecil juga tidak terlaksana.
Oleh sebab itu, Aviliani menilai, kebijakan baru OJK yang menetapkan kebijakan yang memaksa perbankan untuk menambah modal intinya menjadi Rp 3 triliun. Hal itu, bisa dicapai dengan cara merger bank, akuisisi, atau jika tak ingin maka bank harus turun kelas menjadi Bank Perkreditan Rakyat.
"Ini bagusnya, konsolidasi ini akan menjadi penguatan permodalan. Memang, tidak serta merta langsung profit, tapi tetap dia harus berusaha," kata Aviliani dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (22/1).
Ia menuturkan, berdasarkan data, sebanyak 16 bank di Indonesia saat ini masih memiliki modal inti di bawah Rp 1 triliun. Karena itu, bank yang bersangkutan harus menentukan sikap dengan cepat. Sebab, batasan modal inti minimum bank menjadi Rp 3 triliun akan diterapkan bertahap mulai tahun ini. Tahun 2020 minimal Rp 1 triliun, 2021 minimal Rp 2 triliun, dan 2022 menjadi Rp 3 triliun.
Selain itu, juga terdapat 29 bank yang memiliki aset di antara Rp 1 triliun sampai Rp 3 triliun. "Jadi mau tidak mau bank harus memenuhi itu, menurut saya ini bukan hanya untuk memperkuat sistem perbankan, tapi merupakan penguatan jantung ekonomi negara," kata dia.
Apalagi, lanjut Aviliani, bisnis perbankan saat ini harus diakui mulai tergerus. Ke depan, ia menyatakan bank tidak bisa sekadar mengandalkan bisnis penyaluran kredit. Perbankan ke depan perlu mempekuat pendapatan dari sektor fee based income atau pendapatan nonbunga dari jasa transaksi nasabah.
Hanya saja, pasar fee based income perbankan juga makin ketat setelah kehadiran perusahaan teknologi finansial jasa pembayaran yang semakin masif digunakan masyarakat dalam bertransaksi. "Ke depan, bank harus mencadi fee based income yang baru, karena kalau tidak cost akan makin berat. Itulah kenapa OJK mengingatkan kalau bank tidak kuat, maka tidak akan bisa survive," ujarnya.