Rabu 05 Feb 2020 17:20 WIB

BPS: Perlambatan Manufaktur Patut Jadi Perhatian

Industri manufaktur hanya tumbuh 3,80 persen pada 2019 lalu.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Ilustrasi Manufaktur
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi Manufaktur

EKBIS.CO, JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan industri pengolahan sepanjang 2019 melambat. Pada 2018, pertumbuhannya mencapai 4,27 persen yang menjadi 3,80 persen pada tahun lalu.

Tren ini disebabkan kontraksinya sejumlah lapangan usaha di industri non migas, seperti alat angkutan serta barang logam.

Baca Juga

Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, perlambatan industri pengolahan patut menjadi perhatian. Sebab, kontribusinya menjadi yang terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, yaitu hingga 19,70 persen.

"Nilainya pasti berpengaruh besar ke ekonomi kita," tuturnya dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu (5/2).

Suhariyanto menuturkan, perlambatan pada industri manufaktur tak pelak membuat pertumbuhan ekonomi sepanjang 2019 terdampak melambat. Tercatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2019 adalah 5,02 persen, turun dibandingkan tahun sebelumnya yang dapat menyentuh 5,17 persen.

Apabila dilihat secara subsektor, ada dua lapangan usaha di industri non migas yang mengalami kontraksi. Mereka adalah industri alat angkutan yang tumbuh minus 3,43 persen pada 2019, dari sebelumnya 4,24 persen pada tahun sebelumnya.

Selain itu, industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik dan peralatan listrik juga tumbuh negatif 0,51 persen.

Di sisi lain, Suhariyanto menambahkan, ada juga subsektor yang masih tumbuh positif dan berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Sebut saja industri makanan dan minuman yang tumbuh 7,78 persen sepanjang 2019.

"Memang banyak industri makanan minuman yang tumbuh di beberapa sentra, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat," katanya.

Industri tekstil dan pakaian jadi pun tumbuh 15,35 persen, naik signifikan dibandingkan tahun 2018, 8,73 persen. Suhariyanto mengatakan, terjadi peningkatan produksi di beberapa daerah yang merupakan kantong produksi dan pertumbuhan permintaan dari luar negeri.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang menjelaskan, pihaknya sudah menyiapkan berbagai kebijakan untuk mendorong industri manufaktur di tahun ini. Khususnya untuk mencapai target pertumbuhan industri pengolahan 5,3 persen sampai akhir 2020.

Salah satu kebijakan yang dimaksud adalah terkait bahan baku. Agus mengatakan, pemerintah siap menurunkan harga gas industri menjadi 6 dolar AS per Million British Thermal Unit  (MMBTU). Kebijakan ini sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.

Agus mengatakan, selain untuk energi, gas juga digunakan sebagai bahan baku utama beberapa industri. "Apabila sudah turun, ini bisa membuat daya saing industri membaik," ujarnya saat ditemui di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu.

Kebijakan kedua yang dilaksanakan adalah pencetakan kawasan industri. Khususnya di daerah-daerah luar Jawa untuk mengurangi disparitas industri Jawa dengan luar Jawa.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah sudah memutuskan untuk membangun sekitar 29 kawasan industri dengan satu di antaranya di Jawa dan satu lain di Madura. "Sisanya tersebar di luar Jawa, terutama yang dekat dengan sumber-sumber energi dan bahan baku," kata Agus.

Kebijakan lainnya, penguatan industri kecil dan menengah (IKM), terutama melalui kemudahan permodalan. Salah satunya dengan menurunkan suku bunga kredit usaha rakyat (KUR) dan menaikan platfonnya menjadi Rp 190 triliun.

Isu selanjutnya, penerapan ekonomi sirkular atau seluruh proses industri harus bertujuan pada zero waste. Artinya, Agus menjelaskan, semua limbah yang dihasilkan dari proses produksi dapat diolah kembali dan kemudian digunakan sebagai bahan baku lagi.

"Kalau kita bisa address semua isu, saya kira kami tidak ubah target pertumbuhan manufaktur 5,3 persen di 2020," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement