EKBIS.CO, JAKARTA -- Johnny Mantani, seorang warga negara Belanda, tidak pernah menyangka, dana repatriasi dari program pengampunan pajak (tax amnesty) sekitar tiga tahun lalu kini ‘lenyap’. Dana sebesar Rp 5 miliar tersebut menjadi bagian dari dana triliunan rupiah di PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang macet.
Pada 2017, sesuai dengan ketentuan Kementerian Keuangan, Johnny yang memiliki dana di luar negeri mengikuti program pengampunan pajak. Ia memasukkan harta kepemilikannya ke Bank Standard Chartered.
Bank tersebut kemudian menawarkan beberapa produk perbankan ke Johnny. Salah satu rekomendasi utamanya adalah bankassurance milik Jiwasraya. "Mereka (Bank Standar Chartered) bilang, ini milik pemerintah Indonesia, nggak bisa default," ujarnya ketika ditemui di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (6/2).
Johnny pun menilai Jiwasraya sebagai perusahaan pelat merah Indonesia tentu sudah terjamin. Tapi, ekspektasi tersebut kini tidak sesuai dengan realita. Dana repatriasi yang rencana digunakan untuk kepentingan bisnis dan keluarga sekarang justru belum diketahui keberadaannya.
Johnny sendiri sudah bekerja di Indonesia selama 20 tahun. Ia menuntut atas hak yang seharusnya didapatkan sejak tahun lalu. "Polis saya seharusnya cair 2018 dan 2019," ujarnya.
Johnny merupakan satu dari jutaan nasabah Jiwasraya yang belum mendapatkan hak atas polis. Pada Kamis pagi hingga sore, sebanyak 50 di antara mereka yang tergabung dalam Forum Korban Jiwasraya berkunjung ke Kantor Kemenkeu dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah.
Perjalanan para nasabah tersebut tidak berjalan mulus. Mereka tidak dapat bertemu dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk meminta kelanjutan rencana pencairan polis bulan mendatang. Rencana ini sempat disampaikan Menteri BUMN Erick Thohir pada Rabu (29/1) di DPR.
Forum Korban Jiwasraya, termasuk Johnny, hanya dapat bertemu dengan Kepala Bidang Program dan Administrasi Menteri Kemenkeu, Darmawan. Forum menyerahkan surat pernyataan yang berisikan surat tuntutan pertanggungjawaban sekaligus meminta agar pihak Kemenkeu dapat membantu mempertemukan nasabah dengan Sri dalam waktu dekat.
Johnny bukan satu-satunya warga negara asing (WNA) yang menjadi korban Jiwasraya. Berdasarkan catatan Forum Korban Jiwasraya, lebih dari 400 WNA, yang belum mendapatkan hak atas pengembalian polis sampai saat ini. Banyak di antara mereka berasal dari Korea Selatan.
Meski berasal dari luar negeri, Johnny menuturkan, pihaknya tetap ingin menuntut atas haknya secara baik-baik. Pasalnya, selama ini, ia merasa sudah mengikuti peraturan Indonesia.
"Kami punya itikad baik. Kami bayar pajak on time, laporan SPT (Surat Pajak Tahunan) sesuai peraturan, dana kita bawa dan masuk ke rekening tax amnesty selama tiga tahun," ujar lelaki kelahiran Suriname, Amerika Selatan itu.
Harapan Johnny sederhana. Ia ingin, dana repatriasi tersebut kembali bersama dengan besaran bunga yang seharusnya.
Ke depannya, Johnny juga berharap agar kasus Jiwasraya dapat menjadi pembelajaran bagi industri asuransi Indonesia dan pihak-pihak di dalamnya. Tidak terkecuali pihak perbankan yang menawarkan produk asuransi kepada para nasabah.
"Saya pikir, bank juga harus bertanggung jawab," tuturnya.
Harapan serupa juga disampaikan nasabah lain, Machril. Nasabah Jiwasraya sejak 2018 tersebut berharap pemerintah segera menangani permasalahan yang berpotensi memberikan dampak sistemik ini.
Solusi yang ditegaskan Machril adalah secepatnya membayar polis para nasabah. Apabila terus didiamkan, tidak ada lagi yang dapat mempercayakan industri asuransi Indonesia. "Kelebihannya (re: keuntungan) sedikit, risikonya tinggi," ucap pensiunan perusahaan swasta ini.
Potensi dampak berikutnya, Machril menambahkan, perusahaan asuransi dituntut menanggung biaya yang semakin besar sehingga harus memangkas komponen-komponen cost seperti tenaga kerja. Artinya, tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) berskala besar.