Senin 24 Feb 2020 06:15 WIB

Indonesia Tunggu Konsensus Global untuk Pajaki Digital

Praktik BEPS merugikan negara karena perusahaan menghindari pembayaran pajak.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Indonesia tetap akan menunggu keputusan di tingkat global untuk membuat kebijakan mengenai pungutan pajak terhadap raksasa teknologi, terutama terkait pajak penghasilan (PPh).
Foto: Tim Infografis Republika.co.id
Indonesia tetap akan menunggu keputusan di tingkat global untuk membuat kebijakan mengenai pungutan pajak terhadap raksasa teknologi, terutama terkait pajak penghasilan (PPh).

EKBIS.CO,  JAKARTA -- Indonesia tetap akan menunggu keputusan di tingkat global untuk membuat kebijakan mengenai pungutan pajak terhadap raksasa teknologi, terutama terkait pajak penghasilan (PPh). Sikap ini tetap dipilih Indonesia meski beberapa negara seperti Prancis, Italia dan Hungaria telah melakukan regulasi unilateral atau dilakukan secara sepihak. 

Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) John Hutagaol menuturkan, Indonesia tidak sendiri. Sebagai anggota the Inclusive Framework (IF) on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), Indonesia bersama-sama dengan yurisdiksi anggota lainnya menghormati solusi jangka panjang untuk mencapai konsensus global.

"Saat ini, kita setidaknya bersama 137 yurisdiksi (melakukan hal yang sama)," ucap John ketika dihubungi Republika.co.id, Ahad (23/2). 

BEPS mengacu pada strategi perencanaan pajak yang digunakan perusahaan multinasional untuk menghindari pembayaran pajak. Dilansir di situs resmi Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (Organizations for Economic Cooperation and Development/ OECD), praktik BEPS merugikan negara-negara 100-140 miliar dolar AS setiap tahun.

IF BEPS merupakan gerakan ratusan negara dan yurisdiksi, termasuk Indonesia, untuk mengatasi penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional. John menuturkan, IF BEPS menyarankan kepada negara anggotanya untuk memungut pajak tidak langsung atas transaksi ekonomi digital. Misal, Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 

"Hal ini disebabkan oleh pajak tidak langsung menganut destination principle sehingga tidak mengakibatkan double taxation," katanya.

John  menambahkan, IF sebenarnya tidak menganjurkan, namun juga tidak melarang negara anggotanya untuk menerapkan pengenaan PPh atas transaksi ekonomi digital secara unilateral measure. Hanya saja, kebijakan ini bisa diterapkan apabila konsensus global sudah tercapai. 

"Maka, ketentuan sepihak tersebut harus disesuaikan dengan konsensus global nantinya," ucap John. 

Isu pajak atas ekonomi digital tidak hanya dibicarakan di Indonesia. John menyebutkan, isu ini juga dibahas dalam sesi kedua pertemuan para menteri keuangan dan pimpinan bank sentral negara G20 di Riyadh, Sabtu (22/2) dan Ahad. Beberapa pembicara dalam pertemuan tersebut adalah dari OECD dan menteri keuangan sejumlah negara, seperti Prancis, Jerman, India dan Amerika Serikat (AS). 

Tapi, John mengatakan, pertemuan tersebut tidak menghasilkan keputusan, melainkan hanya berdiskusi. Sebab, ada beberapa tahapan yang harus dilalui menuju konsensus global terkait pungutan PPh atas transaksi digital. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement