EKBIS.CO, JAKARTA -- Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) meminta pemerintah untuk menetapkan harga patokan mineral (HPM) nikel. HPM ini sebagai instrumen pengendalian harga nikel di dalam negeri.
"HPM hendaknya diatur dengan memperhatikan prinsip kepastian dan keadilan, tanpa merugikan semua pihak, baik pemilik smelter, penambang, terutama negara dan bangsa Indonesia," ujar Ketua Umum Hipmi Mardani H Maming dalam diskusi Prospek Industri Nikel Dalam Negeri, di Jakarta, Jumat (28/2).
Ia mengemukakan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) diminta oleh Kementerian ESDM untuk memberikan data biaya produksi bijih nikel. Menurut data yang dikumpulkan dari sekitar 30 perusahaan, diperoleh angka rata-rata HPP (harga pokok produksi) bijih nikel sebesar 20,34 dolar AS per mt (metrik ton).
Sementara itu, harga bijih nikel kadar 1,8 persen Free on Board (FoB) Filipina saat ini dihargai antara 59-61 dolar AS per wet metric ton (wmt) sehingga jika pemerintah mengajukan harga jual bijih nikel domestik kadar 1,8 persen FoB sebesar 38-40 dolar AS per wmt merupakan harga yang wajar.
Maka itu, lanjut Mardani, jika di pasar domestik bijih nikel kadar 1,8 persen dihargai 20 dolar AS per mt, maka penambang akan menanggung kerugian belum lagi biaya-biaya lain yang timbul akibat proses ini.
Dalam kesempatan itu, ia mengatakan bahwa pihaknya menyambut baik rencana pemerintah menetapkan harga nikel 30 dolar AS per metrik ton. "Baru disampaikan, katanya sudah disepakati harga nikel HPM itu 30 dolar AS per metrik ton. Ini sudah menjadi berita baik bagi kita pengusaha tambang," imbuhnya.
Selain itu, Mardani juga meminta agar nikel dengan kadar 1,7 persen dapat diterima smelter, mengingat kadar nikel itu yang menjadi standar ekspor sebelum pemerintah memberlakukan pelarangan ekspor nikel pada 1 Januari 2020.
"Kita tahu bersama bahwa setiap proses penambangan tidak dapat dipastikan kadar ore yang diperoleh, sehingga jika ore yang didapat memiliki kadar 1,7 persen, bisa kita hitung berapa besar kerugian penambang. Oleh karenanya, saat ini banyak penambang yang memilih menghentikan produksi," katanya.