EKBIS.CO, JAKARTA -- Laju inflasi pada bulan Februari 2020 tercatat hanya 0,28 persen atau mengalami penurunan dibanding bulan sebelumnya sebesar 0,39 persen. Ekonom Center of Reform on Economics Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan, rendahnya inflasi tidak terlepas dari dampak sentimen penyebaran virus corona baru (Covid-19).
Yusuf mengatakan, konsumsi masyarakat dalam negeri terhadap berbagai produk, salah satunya disumbang dari barang impor. Pasalnya, China menjadi salah satu negara terbesar eksportir barang ke Indonesia. Namun, saat bersamaan terdapat wabah Covid-19 yang secara langsung berdampak pada permintaan barang dari Indonesia.
"Situasi ini akan membatasi perdagangan luar negeri dan masyarakat tentu lebih banyak menahan aktivitias perdagangan, termasuk dari China. Akhirnya, konsumsi dalam negeri ikut mengerem. Itulah yang tergambar," kata Yusuf kepada Republika.co.id, Senin (2/3).
Melambatnya aktivitas perdagangan itu juga terlihat dari data neraca perdagangan selama Januari 2020 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik. Yusuf mengatakan, pertumbuhan produk impor dari China secara bulanan (month to month) terkontraksi 0,3 persen. Begitu pula dengan kinerja ekspor ke China yang mengalami kontraksi 9 persen.
"Ini sudah menunjukkan bahwa kinerja perdagangan kita melambat, terutama dengan China. Ini tidak lepas dari virus corona yang membuat adanya perlambatan," ujar Yusuf menambahkan.
Menurut Yusuf, rendahnya inflasi memang bisa memiliki dampak positif terhadap persepsi investor, baik dalam maupun luar negeri. Sebab, inflasi yang terjaga menunjukkan stabilnya ekonomi makro domestik. Meski begitu, pemerintah harus melihat bahwa persepsi investor terhadap ekonomi makro tidak hanya bersandar pada angka inflasi.
Terdapat indikator lain seperti nilai tukar rupiah yang juga menjadi penentu utama minat investor untuk terus berinvestasi di Indonesia. Ia pun mengakui bahwa situasi ekonomi dalam negeri sangat tidak ringan untuk dilalui karena banyak tantangan yang harus dijawab oleh pemerintah.
"Banyak tantangan walaupun inflasi rendah. Tetap saja ada risiko-risiko lain, khususnya potensi capital outlfow dari Indonesia. Ini saya katakan periode yang tidak ringan," ujarnya.