Sabtu 04 Apr 2020 21:41 WIB

Subsidi Membuat Pembangunan Infrastruktur Gas akan Melambat

Kebijakan menteri ESDM sekarang ini membuat banyak daerah sulit mendapatkan manfaat.

Rep: Intan Pratiwi p/ Red: Agus Yulianto
Petugas melintas di depan jaringan pipa minyak di kilang unit p engolahan (Refinery Unit) V, Balikpapan, Kalimantan Timur. (Ilustrasi)
Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Petugas melintas di depan jaringan pipa minyak di kilang unit p engolahan (Refinery Unit) V, Balikpapan, Kalimantan Timur. (Ilustrasi)

EKBIS.CO, JAKARTA -- Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menurunkan harga gas industri mulai 1 April 2020 ini, dinilai bakal menghambat pembangunan infrastruktur dan penyebaran penggunaan gas bumi di berbagai daerah di Indonesia.

Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan menanggapi akan mulai berlakunya Perpres No 40 tahun 2019 tentang penetapan harga gas bumi.

"Pembangunan infrastruktur gas bumi akan semakin sulit dan terbatas. Dengan harga gas yang rendah dan toll fee yang terus dipangkas, tidak akan banyak perusahaan yang berani berinvestasi di industri hilir, terutama infrastruktur gas bumi," tegas Mamit dalam keterangan tertulisnya  kepada media di Jakarta, Sabtu (4/4).

Dia menyebut, Rencana Induk Infrastruktur Gas Bumi Indonesia 2016-2030 yang disusun oleh Kementerian ESDM bakal gagal total. Menurut  Mamit, sesuai rencana induk tersebut, berbagai aspek infrastruktur gas bumi ditargetkan meningkat tajam di tahun 2030 nanti. 

Misalnya panjang pipa open acces ditargetkan bertambah menjadi  9.992,02 Km dari semula 4.296,59 km di tahun 2016. Artinya ada penambahan pipa open acces baru sepanjang 5,695,43 km. Sementara pipa dedicated hilir ditargetkan naik dari 5.161,12 km (2016) menjadi 6.301,82 km pada tahun 2030. Sehingga di tahun 2030 total panjang pipa gas bumi Indonesia mencapai 16.364,31 Km.

"Tanpa adanya penambahan infrastruktur gas bumi, produksi gas kita akan lebih banyak diekspor. Ini juga akan jadi masalah baru di masa depan. Sangat aneh sebuah kebijakan yang disusun matang dan sudah diputuskan pemerintah, dikorbankan hanya untuk kepentingan sektor tertentu dan jangka pendek," ujarnya.

Sebagai stimulus percepatan pembangunan infrastruktur hilir gas, pemerintah juga telah menerbitkan sejumlah regulasi. Misalnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2016 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan serta Harga Gas Bumi, Peraturan Menteri ESDM Nomor 58 Tahun 2017 tentang Harga Jual Gas Bumi Melalui Pipa pada Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 14 Tahun 2019, Peraturan Menteri ESDM Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Gas Bumi pada Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi.

BPH Migas pun telah memperbaiki sejumlah regulasinya. Contohnya Peraturan BPH Migas Nomor 20 Tahun 2019 tentang Lelang Ruas Transmisi dan/atau Wilayah Jaringan Distribusi dalam rangka Pemberian Hak Khusus dan Peraturan BPH Migas Nomor 34 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penghitungan dan Penetapan Tarif Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa.

Menurut Mamit, regulasi dari BPH Migas itu memberikan perlindungan terhadap keekonomian badan usaha hilir. Ini terefleksi dalam pengaturan tentang tingkat pengembalian investasi (internal rate of return) yaitu maksimal 11 persen untuk pipa dedicated hilir dan pada wilayah baru diberikan insentif menjadi maksimal 12 persen.  Sementara pipa pengangkutan gas bumi diatur bahwa tingkat pengembalian investasi sama dengan biaya modal dan terdapat insentif sampai dengan maksimal 3 persen. 

"Regulasinya sudah sangat bagus sebagai bentuk stimulus kepada badan usaha membangun fasilitas baru. Tapi perubahan kebijakan harga gas industri ini akan membuat semua skema berubah," katanya. 

Mamit menegaskan, Kementerian ESDM seharusnya fokus melaksanakan Peraturan Menteri ESDM Nomor 58 Tahun 2017 tentang Harga Jual Gas Bumi Melalui Pipa pada Kegiatan Usaha Hilir Migas yang sudah efektif berlaku per Juli 2019. Sayangnya aturan itu  sampai sekarang belum dilaksanakan juga. Permen tersebut adalah salah satu upaya yang dibangun oleh Kementerian ESDM sendiri untuk membuat rasionalisasi dan transparansi dalam perhitungan harga jual gas bumi.

Pelaksanaan penurunan harga gas bumi untuk industri seharusnya tetap menjaga keberlangsungan usaha dari badan usaha hilir gas bumi. Apalagi sesuai rencana pembangunan major project dalam RPJMN 2020-2024, butuh pendanaan dari badan usaha untuk pembangunan infrastruktur hilir gas bumi sekitar Rp 43,3 triliun. Jumlah itu sebesar Rp 36,4 triliun untuk pembangunan pipa gas bumi Trans Kalimantan dan Rp 6,9 triliun merupakan kontribusi BUMN untuk pembangunan 4 juta sambungan jargas rumah tangga.

"Kebijakan menteri ESDM sekarang ini akan membuat banyak daerah sulit mendapatkan manfaat dari besarnya produksi gas bumi di dalam negeri. Siapa yang berani investasi besar jika pengembalian investasinya sulit diprediksi?" tegasnya.

Sebelumnya, usai rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo pada 18 Maret 2020, Menteri ESDM Arifin Tasrif menyampaikan rencana penurunan harga gas industri.

"Rencana penurunan harga gas menjadi 6 dolar (per mmbtu) mengikuti Perpres Nomor 40 tahun 2016. Untuk bisa menyesuaikan harga 6 dolar per mmbtu tersebut, maka harga gas di hulu harus bisa diturunkan antarr 4-4,5 dolar per mmbtu dan biaya transportasi dan distribusi bisa diturunkan antara 1-1,5 dolar per mmbtu," ungkap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif pasca Rapat terbatas tersebut.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement