EKBIS.CO, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan, pemerintah akan memperioritaskan sumber-sumber pembiayaan paling aman untuk menutupi defisit APBN yang tahun ini diperkirakan mencapai Rp 853 triliun. Sumber ini diambil sebelum instrumen-instrumen lain yang memiliki tingkat biaya dan membutuhkan pertanggungjawaban tinggi.
Salah satu sumber yang disebutkan Sri adalah Saldo Anggaran Lebih (SAL). Instrumen ini sudah diakumulasikan dan akan digunakan untuk membiayai defisit. Pada awal 2020, jumlah SAL yang dipegang pemerintah adalah Rp 136 triliun.
Tapi, Sri mengatakan, pemerintah tidak serta merta menggunakan seluruh SAL. “Kita akan gunakan sampai SAL hanya cukup menjaga keamanan dari sisi cashflow,” ucapnya dalam teleconference dengan jurnalis, Selasa (7/4).
Sri menjelaskan, pemanfaatan SAL berarti akan mengurangi pembiayaan dari pasar yang memiliki dinamika tinggi. Khususnya di tengah tekanan ekonomi sebagai dampak dari Covid-19.
Sumber kedua, berbagai dana abadi pemerintah yang selama ini juga sudah dikumpulkan hingga mencapai nilai signifikan. Sumber terbesar didapatkan dari dana abadi pendidikan atau Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang kini sudah menyentuh Rp 60 triliun.
Sri menambahkan, pemerintah juga masih melihat potensi berbagai dana yang dikelola Badan Layanan Umum (BLU) sebagai agency pemerintah. “Ini tiga sumber pembiayaan yang tidak melalui market atau kita gunakan dari lembaga pemerintah yang punya sumber dana,” tuturnya.
Penggunaan sumber-sumber ini sekaligus menggambarkan upaya pemerintah untuk menutupi defisit secara hati-hati. Hanya saja, Sri masih belum bisa menyebutkan besaran dana yang bisa didapatkan pemerintah dengan tiga sumber tersebut.
Untuk menambah pembiayaan, pemerintah juga masih melakukan pembiayaan melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) konvensional maupun Sukuk (syariah). Termasuk melalui mekanisme reguler dua pekan sekali yang dilakukan untuk tetap menjaga mekanisme pasar.
Sri menekankan, lelang SBN akan dilakukan dengan risiko dan yield yang diminati calon investor, namun tetap memiliki alasan kuat. Dengan kenaikan risiko ekonomi akibat Covid-19, permintaan kenaikan yield pasti ada.
“Tapi, kita berikan guidance, kenaikan itu harus reasonable, sesuai fondasi, agar lelang kita tetap berintegritas,” ucap mantan direktur pelaksana Bank Dunia ini.
Khusus SBN, Sri mengatakan akan terus melihat perkembangan situasi global. Hal ini menginat dampak pandemi Covid-19 telah menciptakan tekanan, kecemasan dan ketidkpastian kepada investor.
Kondisi itu sudah terlihat dari incoming bid SUN lelang dwimingguan yang menunjukkan kecenderungan ketidakpastian pada bulan lalu. Sebelum Maret, incoming bid bisa di atas Rp 80 triliun, bahkan sempat menyentuh Rp 127 triliun pada Februari.
“Akhir Maret, kita melihat incoming bid hanya Rp 34 triliun meski kita tetap jaga intake di sekitar Rp 20 triliun,” tutur Sri.