EKBIS.CO, WASHINGTON -- Bank Dunia (World Bank) menyebutkan, pandemi virus corona (Covid-19) menciptakan prospek ekonomi mengerikan bagi Asia Selatan. Kawasan ini mungkin akan mengalami kinerja ekonomi terburuk dalam empat dekade terakhir dengan setengah dari negaranya jatuh ke resesi mendalam.
Akibat pandemi, Bank Dunia memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi untuk Asia Selatan menjadi 1,8 persen hingga 2,8 persen, turun signifikan dibandingkan proyeksi sebelum virus mewabah, 6,3 persen.
"Asia Selatan akan berada dalam badai efek buruk. Pariwisata mengering, rantai pasok terganggu, permintaan terhadap garmen menurun serta sentimen konsumen dan investor yang sudah memburuk," tulis laporan Bank Dunia yang dirilis Ahad (12/4).
Dampak dari pandemi Covid-19 bahkan akan semakin menghambat kerja keras negara-negara Asia Selatan dalam pertempuran melawan kemiskinan. Seperti diketahui, salah satu realita di Asia Selatan yang menjadi tantangan untuk ekonomi adalah ketidaksetaraan.
Orang miskin lebih mungkin terinfeksi virus corona, karena social distancing sulit diimplementasikan untuk mereka. Mereka juga kurang memiliki akses ke fasilitas kesehatan atau bahkan sabun cuci tangan, dan lebih rentan terhadap kehilangan pekerjaan maupun lonjakan harga pangan.
Maldives diperkirakan menjadi negara yang mengalami hantaman paling keras dari dampak Covid-19. Pariwisata high-end turun signifikan seiring dengan kebijakan restriksi wisata yang berpotensi menurunkan output ekonominya hingga 13 persen.
Sementara itu, India sebagai ekonomi terbesar di Asia Selatan diperkirakan tumbuh hanya 1,5 persen, turun dari prediksi terakhir, lima persen.
Bank Dunia menganjurkan kepada pemerintah untuk terus meningkatkan aksi darurat kesehatan dan melindungi rakyat, terutama yang paling miskin dan rentan. "Mulai sekarang, siapkan skenario untuk pemulihan ekonomi yang cepat," seperti dilansir di BBC, Senin (13/4).
Bank Dunia juga merekomendasikan pelaksanaan program kerja sementara untuk pekerja migran, pengurangan hutang untuk bisnis dan individu sambil memotong jalur birokrasi terhadap aktivitas impor dan ekspor yang penting.
Pekan lalu, lembaga pemberi pinjaman yang berbasis di Washington ini berkomitmen mengerahkan dukungan keuangan hingga 160 miliar dolar AS selama 15 bulan mendatang. Dukungan ini diberikan untuk membantu negara-negara yang rentan menangani pandemi sekaligus mendorong pemulihan ekonomi mereka.