Rabu 15 Apr 2020 15:40 WIB

Pemerintah Diminta Antisipasi Krisis Beras di Akhir Tahun

Kemarau ekstrem 2019 menyebabkan musim tanam mundur, produksi beras berkurang.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Petani mengunakan traktor panen bantuan dari Dinas Tanaman Pangan dan Hortikulutura Pemkab Kolaka di areal persawahan Samaturu, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, Senin (13/4/2020). Pakar Ekonomi Pertanian, Bustanul Arifin, memproyeksi titik kritis ketersediaan beras akan terjadi pada akhir tahun 2020. Hal itu perlu diantisipasi dari sekarang untuk mengoptimalkan persediaan beras saat panen raya yang masih berlangsung.
Foto: Antara/Jojon
Petani mengunakan traktor panen bantuan dari Dinas Tanaman Pangan dan Hortikulutura Pemkab Kolaka di areal persawahan Samaturu, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, Senin (13/4/2020). Pakar Ekonomi Pertanian, Bustanul Arifin, memproyeksi titik kritis ketersediaan beras akan terjadi pada akhir tahun 2020. Hal itu perlu diantisipasi dari sekarang untuk mengoptimalkan persediaan beras saat panen raya yang masih berlangsung.

EKBIS.CO, JAKARTA -- Pakar Ekonomi Pertanian, Bustanul Arifin, memproyeksi titik kritis ketersediaan beras akan terjadi pada akhir tahun 2020. Hal itu perlu diantisipasi dari sekarang untuk mengoptimalkan persediaan beras saat panen raya yang masih berlangsung.

"Titik krisis beras tahun ini ada di akhir tahun. Ketersediaan beras kita sampai Juli aman walau ada kemarau. Lalu Agustus, sudah mulai defisit," kata Bustanul dalam Webinar Center for Indonesian Policy Studies, Rabu (15/4).

Baca Juga

Bustanul memaparkan, produksi beras tahun 2019 hanya 31,31 juta ton atau turun 7,75 persen dari produksi tahun 2018 sebanyak 33,94 juta ton. Kekeringan ekstrem sepanjang tahun lalu menjadi faktor dominan penurunan produksi tahun 2019.

Musim kemarau panjang itu juga menyebabkan kemunduran musim tanam dan panen 2019-2020. Sementara, pola produksi dan konsumsi beras tidak berubah. Ia menambahkan, impor beras tahun 2019 pun hanya 444 ribu ton, turun signifikan dibanding impor 2018 yang tembus 2,25 juta ton. Situasi itu akan mempengaruhi kondisi 2020.

Adapun saat ini, berbagai sentra produksi tengah melewati masa puncak panen raya. Bustanul mengatakan, dalam jangka pendek neraca beras diperkirakan surplus 0,9 juta ton pada Apil 2020 dan akan aman hingga bulan Juli mendatang.

Memasuki Agustus 2020 dimana musim merupakan musim kemarau, Bustanul memperkirakan akan mulai terjadi defisit beras. Dengan kata lain, produksi beras dalam negeri tidak mampu mengimbangi rata-rata konsumsi beras bulanan sekitar 2,5 juta ton.

Sementara itu, produksi beras pada musim panen gadu (musim kering) rata-rata hanya sekitar 35 persen dari total produksi nasional dalam setahun. Oleh sebab itu, musim panen rendeng yang masih berlangsung saat ini perlu dimanfaatkan secara baik oleh pemerintah dan Perum Bulog dalam melakukan penyerapan gabah petani untuk diolah menjadi beras.

Seuai tren lima tahun terakhir (2015-2019) penyerapan gabah maupun pengadaan beras oleh Bulog mencapai puncaknya pada bulan April-Juni. Adapun untuk tahun ini, belum diketahui kinerja Bulog dalam penyerapan gabah di tengah musim panen raya. 

"Bulog perlu terus membeli gabah petani pada saat panen raya," tegasnya.

Bustanul pun mengingatkan, lembaga internasional seperti International Food Policy Research Institute (IFPRI) dan Food and Agriculture Organization (FAO) telah memperingatkan bahwa terdapat kenaikan harga beras secara global. Rantai nilai beras juga bisa terganggu akibat wabah Covid-19 yang menyebabkan banyak pembatasa aktivitas.

"Manajemen stok beras domestik bukan opsi, tapi kewajiban. Sebab, krisis pangan dapat berdampak sosial-politik," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement