EKBIS.CO, TOKYO -- Dana Moneter Internasional (IMF) menilai, negara-negara berkembang Asia sebaiknya memanfaatkan swap lines bilateral dan multilateral serta mencari dukungan keuangan dari lembaga multilateral. Langkah ini dapat dilakukan apabila memang dibutuhkan untuk menahan dampak negatif pandemi virus corona (Covid-19) terhadap perekonomian.
Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF Changyong Rhee menyebutkan, apabila swap lines tidak ada, mereka juga dapat menggunakan kontrol modal yang dibutuhkan untuk menahan aliran modal keluar (capital outflow) yang disebabkan pandemi Covid-19.
Langkah tersebut dilakukan untuk menghadapi pertumbuhan ekonomi Asia yang diprediksi terhenti untuk pertama kalinya dalam enam dekade terakhir. Covid-19 dinilai memberikan dampak besar yang belum pernah terjadi sebelumnya, terutama pada sektor jasa dan kinerja ekspor.
Rhee menuturkan, pembuat kebijakan harus memberikan dukungan fiskal yang ditargetkan kepada rumah tangga dan perusahaan. Khususnya dunia usaha yang terpukul akibat larangan perjalanan, kebijakan social distancing dan langkah-langkah lain yang ditujukan untuk mengendalikan pandemi.
"Dukungan yang memang sesuai target, dikombinasikan dengan stimulus permintaan dalam negeri akan membantu mengurangi dampak negatif. Tapi, ini harus menjangkau semua orang dan perusahaan kecil," ujarnya seperti dilansir di situs resmi IMF, Kamis (16/4).
Di sisi lain, Rhee menilai, transfer tunai langsung ke warga negara seperti yang dilakukan Amerika Serikat (AS) bukan kebijakan terbaik bagi negara Asia. Sebab, mereka kini harus fokus untuk mencegah perusahaan kecil bangkrut sehingga menyebabkan pengangguran meningkat.
Rhee menuturkan, saat ini menjadi masa-masa yang tidak pasti dan menantang bagi ekonomi global. Wilayah Asia Pasifik tidak terkecuali. "Dampak dari corona di wilayah ini akan parah, di seluruh negara, dan belum pernah terjadi sebelumnya," tuturnya.
Rhee menekankan, sekarang bukanlah waktu untuk melakukan business as usual atau bisnis seperti biasa. Negara-negara Asia perlu menggunakan semua instrumen kebijakan dalam menangani situasi terkini.
Dalam sebuah laporan wilayah Asia Pasifik yang dirilis Kamis (16/4), IMF memprediksi, ekonomi Asia kemungkinan mengalami pertumbuhan nol. Ini pertama kalinya terjadi dalam 60 tahun. Proyeksi tersebut lebih buruk dibandingkan rata-rata pertumbuhan Asia saat krisis keuangan global 2008-2009 (4,7 persen) maupun krisis keuangan Asia pada akhir 1990an (1,3 persen).
Pemulihan diprediksi terjadi pada tahun depan. IMF berekspektasi, ekspansi 7,6 persen dalam pertumbuhan ekonomi Asia terjadi pada 2021, dengan asumsi Covid-19 dapat ditangani.
Tidak seperti krisis keuangan global yang dipicu runtuhnya Lehman Brothers, pandemi Covid-19 diketahui langsung menghantam sektor jasa di Asia. Kondisi ini memaksa rumah tangga untuk tinggal di rumah dan menutup pertokoan.
Kekuatan ekspor di Asia pun terpukul akibat merosotnya permintaan barang-barang mereka oleh mitra dagang utama seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.
China sebagai ekonomi terbesar di Asia diperkirakan hanya tumbuh sebesar 1,2 persen tahun ini, turun dari proyeksi IMF pada awal tahun, enam persen. Pelemahan ekspor dan pelambatan aktivitas domestik akibat social distancing menjadi faktor utamanya. Cina diperkirakan mengalami rebound pada akhir tahun hingga mencapai pertumbuhan 9,2 persen pada tahun depan.
Tapi, IMF mengingatkan, ada risiko pertumbuhan China tidak dapat berjalan normal pada 2021. Faktor risikonya adalah virus Covid-19 yang kembali mewabah sehingga menunda pemulihan aktivitas ekonomi.
Rhee mengatakan, pembuat kebijakan China telah bereaksi sangat kuat terhadap Covid-19. Apabila situasinya memburuk, mereka memiliki lebih banyak ruang untuk menggunakan fiskal dan moneter. "Apakah itu dibutuhkan atau tidak, benar-benar tergantung pada kemajuan menahan wabah virus," katanya.