EKBIS.CO, JAKARTA -- Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menilai Kartu Prakerja tidak tepat ditujukan bagi karyawan hotel dan restoran yang terpaksa harus dirumahkan atau kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di tengah wabah Virus Corona jenis baru atau Covid-19. PHRI menilai yang dibutuhkan adalah jaring pengaman sosial.
"Bukan tidak setuju dengan Kartu Prakerja, tapi memang untuk saat ini desain tersebut tidak tepat. Yang paling tepat itu apabila diubah jadi jaring pengaman sosial," kata Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani dalam seminar virtual bertajuk Strategi Pengelola Industri Perhotelan Menghadapi Covid dan Krisis di Jakarta, Kamis (16/4).
Hariyadi menuturkan industri pariwisata bukannya tidak membutuhkan pelatihan dalam program Kartu Prakerja. Sebab, industri tersebut selalu melakukan pelatihan yang melekat terhadap karyawan mereka.
"Boleh dicek di Kementerian Ketenagakerjaan serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, sektor kami ini yang paling banyak tersertifikasi terkait kompetensi," katanya.
Artinya, lanjut Hariyadi, pelatihan memang diperlukan, tetapi skema jaring pengaman sosial lebih dibutuhkan karyawan yang mayoritas dirumahkan atau di-PHK itu. Ia meminta agar biaya pelatihan bisa diubah seluruhnya menjadi bantuan tunai bagi karyawan hotel dan restoran yang terdampak Covid-19.
Bantuan tunai dinilai lebih dibutuhkan dalam kondisi saat ini, terlebih bagi mereka yang telah memiliki tanggungan. "Kami meminta biaya training diubah jadi tunai saja. Tapi pemerintah belum setuju karena desain Kartu Prakerja adalah untuk meningkatkan kompetensi," katanya.
Hariyadi mengatakan PHRI mencatat ada 69.978 karyawan sektor hotel dan restoran yang mengajukan aplikasi Kartu Prakerja. Mereka berasal dari 836 hotel dan restoran.
Namun, jumlah tersebut diperkirakan hanya sebagian kecil dari karyawan hotel dan restoran yang terdampak pandemi Covid-19. Sebab, menurut dia, jumlah total pekerja industri perhotelan dan akomodasi lainnya pada 2020 paling tidak sudah mencapai 550 ribu karyawan.