EKBIS.CO, PONTIANAK -- Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kalimantan Barat Rudyzar Zaidar Mochtar menyatakan harga rotan anjlok karena kebijakan ekspor rotan yang tidak diubah. Kondisi tersebut, menurut Rudyzar, merugikan petani hingga industri pengolahan.
"Kami mendesak pemerintah mengevaluasi kebijakan perdagangan rotan, yang saat ini sangat tepat untuk menyangga kesejahteraan masyarakat di tengah melemahnya perekonomian nasional akibat pandemi Covid-19," kata Rudyzar Zaidar Mochtar di Pontianak, Kamis (7/5).
Ia menjelaskan saat ini tata niaga rotan diatur oleh Permendag Nomor 35 tahun 2011 tentang Ketentuan Ekspor Rotan dan dan Produk Rotan. Ketentuan itu melarang ekspor rotan mentah, rotan asalan, rotan W/S dan rotan setengah jadi.
Meski bertujuan untuk mendorong rotan mentah dan setengah jadi diolah menjadi produk jadi demi nilai tambah, nyatanya tujuan tersebut tidak pernah tercapai. "Ekspor produk rotan jadi dalam bentuk furnitur ternyata malah melorot tajam," ungkapnya.
Karena, menurut Rudyzar, penutupan ekspor membuat harga rotan mentah dan setengah jadi tertekan yang berdampak pada produksi yang seret karena tidak lagi menguntungkan. "Ujungnya, pasokan rotan untuk industri furnitur malam mampet," ujarnya.
Dia menambahkan Permendag Nomor 35/2011 telah merugikan semua pihak dalam rantai pemanfaatan rotan di Tanah Air, yang berdampak pada petani pemungut rotan menjadi menderita, industri pengolahan rotan setengah jadi tutup, dan ekspor rotan juga tidak berhasil.
"Kebijakan untuk menutup ekspor rotan bahan baku rotan atau setengah jadi sudah dilakukan sejak tahun 1979 atau hingga saat ini sudah enam kali. Semuanya tidak berhasil, malah merusak potensi ekonomi rotan itu sendiri," kata Rudyzar.
Berdasarkan data BPS, mencatat periode 2011-2018 ekspor furnitur rotan memang turun, saat Permendag Nomor 35/2011 efektif diberlakukan. Tahun 2012, ekspor rotan turun sebesar 45 persen dan penurunan itu terus terjadi mulai 2012-2018 hingga minus 16 persen.
Nilai ekspor mebel rotan pada 2011 sempat sebesar 74 juta dolar AS, namun pada tahun 2018 hanya tinggal 19 juta dolar AS. "Terlihat pelarangan ekspor rotan mentah dan setengah jadi yang niatnya agar industri furnitur rotan Indonesia tumbuh, ternyata malah sebaliknya," katanya.
Malah pelarangan ekspor rotan mentah dan setengah jadi, kata dia, menguntungkan petani rotan dari negara tetangga, seperti Filipina yang saat ini memasok kebutuhan rotan dunia sebesar 70 persen.
"Sementara di sisi lain, berkurangnya pasokan rotan mentah dan setengah jadi dari Indonesia, justru memicu produk tidak ramah lingkungan, yakni rotan plastik, yang malah diikuti industri furnitur rotan Tanah Air," katanya.
Indonesia sebagai pusat pertumbuhan rotan dunia, lanjut dia, sejatinya memiliki keunggulan sebagai pemasok bahan baku. Indonesia saat ini bukan dan belum menjadi penghasil mebel rotan yang artistik.
Berdasarkan data Sucofindo tahun 2012, jumlah rotan yang diperdagangkan di dalam negeri untuk kemudian diekspor sebagai produk rotan adalah 33.271 ton, sementara produksi rotan lestari di Indonesia 247.291 ton kering.
"Artinya rotan yang termanfaatkan hanya sekitar 13,5 persen dari kapasitas produksi lestari. Jadi masih terdapat 214.019 ton atau 86,5 persen yang belum dimanfaatkan sebagai sumber ekonomi potensial," katanya.
Oleh karena itu, menurut dia, menutup ekspor rotan setengah jadi sama saja dengan menutup pasar bagi 86,5 persen rotan yang dimiliki Indonesia. "Saat pemakaian rotan di dalam negeri hanya sebesar 13,5 persen, maka pilihannya harusnya mengizinkan ekspor, bukan malah melarang. Kalau misalnya konsumsi atau pemakaian dalam negeri sudah mencapai 60 persen atau lebih, maka lakukanlah larangan ekspor," kata Rudyzar.