Selasa 19 May 2020 08:11 WIB

Program Pemulihan Ekonomi Kunci Defisit Kembali ke 3 Persen

Target defisit akan bergantung bagaimana pemerintah menggali sumber penerimaan pajak.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyebutkan,  seberapa jauh pemerintah menindaklanjuti program pemulihan ekonomi tahun depan menjadi faktor utama kembalinya defisit ke batas maksimal tiga persen pada 2023.
Foto: ANTARA/Aprillio Akbar
Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyebutkan,  seberapa jauh pemerintah menindaklanjuti program pemulihan ekonomi tahun depan menjadi faktor utama kembalinya defisit ke batas maksimal tiga persen pada 2023.

EKBIS.CO,  JAKARTA -- Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyebutkan,  seberapa jauh pemerintah menindaklanjuti program pemulihan ekonomi tahun depan menjadi faktor utama kembalinya defisit ke batas maksimal tiga persen pada 2023. Semakin baik langkah pemulihan, semakin memungkinkan target tersebut tercapai.

Di samping itu, Yusuf menambahkan, target defisit juga akan bergantung bagaimana pemerintah menggali sumber penerimaan pajak. Khususnya terkait ekstensifikasi wajib pajak (WP). "Semakin baik dilakukan, maka sumber pembiayaan anggaran bisa ditingkatkan untuk menekan defisit anggaran," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (18/5).

Diketahui, pemerintah kembali memperlebar outlook defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini menjadi 6,27 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sebelumnya, melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur APBN Tahun Anggaran 2020 atau APBN-Perubahan 2020, pemerintah menargetkan defisit berada pada level 5,02 persen. Pelebaran tersebut meningkat signifikan dibandingkan proyeksi semula pemerintah, yaitu 1,67 persen dari PDB.

Yusuf mengatakan, pelebaran defisit APBN menjadi situasi yang tidak dapat ditampik pada tahun ini. Tekanan ekonomi terhadap berbagai sektor menyebabkan penerimaan pajak harus terkontraksi. Khususnya dari sisi manufaktur yang selama ini menjadi penyumbang pajak terbesar dibandingkan sektor lain.

Tren perlambatan impor bahan baku, Purchasing Managers’ Index (PMI) dan indkes kepercayaan konsumen pertumbuhan sektor manufaktur masih akan tertekan sepanjang tahun. "Jika itu terjadi, defisit yang dianggarkan pemerintah masih akan sedikit melebar dari deviasi yang ditetapkan pemerintah," tutur Yusuf.

Selain dari sisi penerimaan, Yusuf menambahkan, potensi pelebaran juga disumbang penambahan dari sisi belanja. Terutama anggaran untuk insentif pemulihan ekonomi nasional yang membutuhkan anggaran hingga Rp 641,7 triliun.

Salah satu komponen yang membutuhkan anggaran besar adalah restrukturisasi kredit untuk dunia usaha, terutama UMKM. Besaran anggaran yang diajukan mencapai Rp 35 triliun dan diperkirakan Yusuf akan bertambah. 

"Ini melihat di tengah kebutuhan restrukturisasi yang semakin membesar oleh pelaku usaha," katanya.

Dalam teleconference dengan jurnalis, Senin, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan outlook terbaru pemerintah untuk defisit APBN tahun ini mencapai Rp 1.028,5 triliun atau 6,27 persen terhadap PDB. Pelebaran defisit dilakukan mengingat kebutuhan tambahan belanja lebih besar, seiring dengan tekanan terhadap pendapatan negara.

Sri menjelaskan, pemerintah akan segera merampungkan revisi Perpres 54/2020. "Selanjutnya, akan sampaikan ke Banggar (Badan Anggaran DPR) untuk bisa kita presentasi mengenai desain ekonomi dan postur APBN 2020," tuturnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement