Karyanya banyak. Dia menerbitkan lebih dari 500 artikel di sejumlah jurnal, termasuk menulis buku, “The Taiwan Crisis: a showcase of the global arsenic problem (Arsenic in the environment)”. Pengalamannya pun panjang, termasuk saat menghadapi SARS.
Ketika itu dia menjabat Menteri Kesehatan Taiwan (2003-2005) dan dipuji karena sukses mengatasi wabah itu. Dengan latar belakang serta pengalamannya, maka begitu pandemi corona menghantam negeri, suaranya begitu didengar.
Chien-jen sendiri turun ke gelanggang menjadi garda terdepan menghadapi pandemi. Dia tak mau membuang waktu di tengah debat soal siapa yang paling bertanggung jawab atas wabah corona, atau diskusi antara ilmuwan penuh ilmu pandemi dengan politikus asal bunyi berbalut kepentingan tentang bagaimana virus menyebar dan manfaat lockdown.
Dalam menangani wabah, dia hanya bersandar pada satu hal yang menurutnya paling krusial: sajikan fakta lalu buat kebijakan.
Duet kepemimpinan inilah yang membuat Taiwan bisa berselancar dengan relatif mulus sementara negara-negara lain megap-megap dengan korban yang terus bertumbangan. Yang menarik, keberhasilan ini telah mengundang sejumlah negara lain untuk meniru dan merekomendasikannya untuk bergabung dengan WHO. Sayang, sejauh ini usulan tersebut mental karena China menolaknya mentah-mentah. Maklum, China memang sejak lama menganggap Taiwan adalah bagian dari teritorinya.
Terlepas dari penolakan tersebut, fakta telah berbicara bahwa Taiwan sukses menghadapi virus corona dengan baik. Itu sulit dibantah kecuali oleh mereka yang bebal dan sok pintar. Dan Tsai sendiri tetap menawarkan pengalaman serta bantuan negaranya kepada yang membutuhkan.
“Sekalipun kami tak dimasukkan ke dalam PBB dan WHO secara tidak fair, kami tetap berkenan dan mampu untuk menggunakan gabungan kekuatan di sektor manufaktur, pengobatan, serta teknologi bagi dunia. Kita harus menyingkirkan perbedaan dan bekerjasama demi kemanusiaan. Perang melawan Covid-19 membutuhkan kerjasama kolektif seluruh dunia,” ujarnya.
Mencermati dinamika yang berlangsung, terutama di WHO dengan bersikukuhnya China untuk menolak Taiwan dan isu desakan investigasi menyeluruh atas awal mula Covid-19 dari sejumlah negara, menjadi amat menarik bagaimana peran Taiwan kelak dalam membantu warga dunia mengatasi pandemi ini. Bedanya, setelah dilantik menjadi Presiden Taiwan periode 2020-2024 pada 20 Mei 2020, Tsai kali ini didampingi Lai Ching-te sebagai wakil presiden baru, menggantikan Chien-jen.
Namun warga Taiwan setidaknya merasa tenang karena Lai Ching-te adalah lulusan Harvard T.H. Chan School of Public Health. Artinya lelaki kelahiran 1959 ini juga memahami isu-isu kesehatan dengan baik. Bukan politisi yang tidak jelas latar belakang pendidikannya, apalagi hanya mengandalkan nama besar dan popularitas orang tua. (Riset: Armiadi Murdiansyah)